8/02/2011


Bismillahirrahmanirrahim

Lalu lalang kendaraan bermotor di jalanan berjubel kasar di telinga, tiada damai dalam sapanya. Deru mesin yang meraung tanpa santun bergumul dengan clometan klakson. Gaduh yang berjarak itu meski jauh dari mulut gang, tetap menyisakan onar. Keluar masuk para pengunjung perpustakaan menciptakan keriuhan yang hidup, mengekang kegigihan yang luluh. Seolah semua penyaksi suasana itu tak sekalipun terganggu, termasuk juga aku.
Sesaat aku lalai dengan sosok di sudut rak terakhir, Elisa. Tetangga yang juga sahabat merangkap sebagai lawan. Lawan sebuah persaingan kehidupan yang lebih baik. Ada suatu hal yang ingin ku bicarakan padanya. Dalam hitungan detik aku pindah posisi lebih dekat dengannya.
“Smsmu jorok,” seruku tiba-tiba tanpa mukaddimah sama sekali. 
“Pake’ Eek segala.” Nada kesalku terbias dengan wajah senyuman, hingga bukan kesan marah sungguhan yang dia terima. Wajah elisa mendongak tanpa dosa, beradaptasi dengan kesenjangan pikiran membaca dan menyikapiku.
“Lha, kau sendiri malah ngomong  jorok.” Sergahnya tak mau kalah. 
Alisnya bergerak-gerak isyarat gokil tiap mendapat angin segar. 
“Tuh, barusan.” Santai terdengar meski sengol dirasa. 
Matanya kembali mengekori deretan huruf dari buku tebal yang dia pegang. Tak menganggap pentingnya teguranku. Mungkin dengan itu, aku akan menyudahinya. Pada nyatanya,  Justru itu membuatku semakin bersemangat.
“Aku hanya kasih tahu bahwa smsmu yang ‘itu’ tidak pantas”. 
Volume dan intonasi bicaraku tetap bertahan pada kestabilan. Jempolku berdansa di atas tuts Qwerty, membuka inbox yang dikirim olehnya. Sebuah barang bukti. Begitu sms yang ku maksud berhasil terbuka, dia tersenyum tanpa kendali. Ekspresi spontan tak tertahan.
     “Hm, hanya orang-orang yang berprasangka baik sajalah yang bisa mengambil hikmah dari itu.”
Dalihnya tiada beban. Buku di tangannya sedikit terguncang reaksi dari perubahan posisinya berdiri, beberapa lembarnya melet-melet acak.

“Ya, hikmah yang kau maksudkan itu lancarnya pencernaanmu hari ini.” Tambahku seolah mendukung. 
Aku menatap bola matanya untuk menangkap arah koneksi diantara kami. Gerakan matanya memiliki banyak fokus sebagai obyek pandangan. Ke arah kanan dan kiri serta memutar, naik turun. Itu artinya dia sedang mencari jawaban pukil nan cengengesan, bahkan licik. 
“Dengan kata lain kau hendak mengabarkan percernaan saya baik-baik saja. Saya sehat. Begitu?” kataku lagi. 
Sebuah pertanyaan yang pasti ada jawabnya. Aku terpaksa mengingat sejarah kebiasaan-kebiasaannya yang dulu, agar bisa waspada dalam batas sewajarnya.
Namun, tampaknya dia tak mau kalah. Serangkaian alasan dikeluarkan meski jelas menggambarkan argumen yang dipaksakan. “Bisa jadi lebih dari itu”. Tukasnya pasti dan mulai bersemangat. Dia mulai menghadapkan penuh muka dan badannya ke arahku. Sementara buku itu masih terbuka lebar di tangan kanannya.
“Dalam agama, shodaqoh adalah harta yang bukan hak kita. Adanya shodaqoh bertujuan untuk membersihkan harta kita. Artinya, shodaqoh itu kotoran harta kita yang selayaknya dilepaskan begitu saja”. cuping hidung jambunya kembang kempis dalam semangat yang mulai tersulut.
“Mana ada orang BAB, kotorannya dikutit terus kemana perginya? So, sudahkah anda *sensor* hari ini?” 
Presentasi elegan yang jelas dipaksakan, tapi tetap ku anggap sebagai humor pendidikan. Boleh pula menjadi sebuah penuturan tak terbantahkan, sebuah indikasi kemenangan. Terbukti alisnya semakin terangkat dan sesungging senyum ledek nangkring di wajah ovalnya.
Ekspresinya makin membuatku optimis menyandu debat. Aku tak mau kalah.
“Dan itu filosofi yang dicipta secara dadakan, kalau tidak mau dibilang su’udhon maka saya menuduh demikian. Nah, maksudmu hal itu bagian hikmah sms “sensor” itu?” desirku terkikik beriring pasang wajah sok serius. Tak sungkan tangan naik turun, menguatkan argumen tak jelas juntrung dalil dan referensinya.

“Tepat sekali. Hanya orang-orang yang berpikiran maju dan selalu berprasangka baik yang mampu mengolah segala hal menjadi baik, sekalipun dari hal yang jorok.”
Disini kami mulai heboh. Buku di tangan elisa pun tertutup. Matanya berbinar dalam cumbuan senyum kesuksesan. Merasa di atas angin, dia mulai bertindak genit dengan kesombongan palsu. Sombong untuk joke kecil-kecilan.
Ok. Berbalaspun bukan suatu hal yang tabu, ku pikir.
“Lalu mengapa kemarin kau marah ketika ujung sepatumu terkena air kencing keponakan kecilku? Mana letak prasangka baik dari suatu hal jorok yang kau sarankan?” kali ini aku menyerang. Serangan dalam kungkungan persaingan untuk keunggulan sesaat. Sadarku lebih menetapi kesetian ego daripada logika. Sebuah alasan berteriak di hati, aku ingin menegurnya sekaligus tak mau mengalah demi gengsi.
“Itu sesuatu hal yang wajar. Bagaimana aku tidak marah, kalau bukan karena aku siap berangkat kerja, tiba-tiba keponakanmu kencing sembarangan.” Tukasnya cepat. Kali ini bola matanya mengarah ke kiri, dia mengingat sesuatu hal. Pena yang diselipkan diantara pipi dan lipatan jilbabnya merosot. Itu menggelitik senyum jenakanya. Gemas.
“Tapi, saat itu keponakan kecilku berlari ke arahmu mencari perlindungan karena ketakutan dengan anjing yang hampir saja menggigitnya. Pengaruh rasa takut itu mengakibatkannya terkencing-kencing.” Balasku tak kalah sergah. Mulutku sampai belepotan kata-kata. “Toh, itu bukan air kencing anjing yang perlu 7 kali penyucian dan terakhir dengan debu, kan? Mengapa kau tidak berprasangka baik, agar sepatumu tampak lebih bersih dan mengkilat.”
Kali ini aku yakin, dia sebetulnya sudah terpojok, akan tetapi gengsi dan ego kami tak beda jauh tarafnya. Akut!
“Owh...jadi balas dendam ini ceritanya.” Ungkapnya yang terkesan bego dan kehilangan jeda untuk segera menjawab. “Menurut film wushu warrior, kehebatan api naga hanya mau muncul ketika jiwa bersih dan tidak ada dendam. Dendam merupakan saudara kandung prasangka buruk.”
Aku tergelak hingga terbungkuk-bungkuk tak pasti. Kegaduhan mulai menggerayangi kami. Tanpa sadar itu memancing reaksi orang sekitar. Beberapa wajah pengunjung menatap dengan tampang masam. Mereka terganggu. Ups!
“Segala tindakan itu tak lepas dari efek domino sebab akibat. Ketika seseorang berbuat kebaikan, wajar sajalah jika kebaikan yang dia ketam. Demikian pula kejelekan. Ini impas dan dibenarkan dalam hukum manapun.”
Aku membisikkan seilmiah mungkin. Kali ini bisikan menjadi alternatif untuk melanjutkan perdebatan. Perdebatan asal-asalan versi kami berdua.
“Hukum manapun katamu...? Bukankah setiap dogma menanamkan kata maaf dalam kehidupan ini.” Elisan mengernyitkan dahinya.
Kepalanya merunduk dekat dengan wajahku. Dia juga berbisik. Tampaknya kami pantas menjadi bagian ibu-ibu muda suka gosip. Aksi mengendap-endap, membisik dan selundup-selundupan identik dengan gosipan.
“Maaf memang bagian dari etika kehidupan umat manusia. Namun, bukan alasan untuk menutup hukum sebab akibat, yaitu ganjaran.” Bantahku keras. Tak urung aku mulai mencari akar masalahnya. Takut juga jika meluber kemana-mana, toh mewaspadai jebakan debat tak berkesudahan.
“Dendam tidak sama dengan ganjaran.” Elisa membantah padat.
Bibirnya meletot tak berarah. Matanya mendelik sambil melirik kanan kiri. Itu artinya dia berusaha meyakinkan sekaligus menyudahi. Kami pada posisi seri. Kami menyadari perdebatan kami tak lebih dari keegoisan masing-masing. Bedanya, dia terlalu mencolokkan kesadarannya, yang itu memancing semangat gilaku utnuk mendebat lagi. Halah!
“Ganjaran itu balasan, sedang balasan tergantung baik buruknya amalan. Ada yang setimpal, ada yang bertimpal-timpal. Timpalan itulah sebab akibat.” Kali ini aku yang mulai kacau meracau tak keruan. Niat benar bisa pula berjalan pada proses kenaifan dan kemunafikan. “Lalu bagaimana menurutmu dengan kutukan?” Elisa memancing masalah baru. Lagi-lagi aku mau jadi ikan yang disodori kail. Debat mulai memasuki kawasan rawan kecelakaan. Sebab, ku dasari itu murni ego tak terkendali.
“Kutukan itu laknat, yang berarti sumpahan agar dijauhkan dari kebaikan, itu berlaku pada tuhan. Manakala seseorang mengutuk sesamanya atau makhluk yang lain, dia telah memosisikan dirinya sebagai tuhan.” Kendali ego yang seharusnya ditekan sekuat-kuatnya, malah disambut bak pangeran dan putri raja. Yakin saja, sahutan pun muncul, terus tumbuh bak cendawan di musim penghujan.
“Posisi tersebut bukan dalam artian sebenarnya, kan. Toh, pengutuk tetaplah pengutuk yang bukan tuhan. Itu sah saja terjadi. Memosisikan dirinya sebagai tuhan tak ubahnya dengan sok tuhan dan sok berkuasa.” Selorohnya lepas. Dia menoleh kanan kiri mencari tempat duduk.
Hm, capek juga. Pikirku riang. Secercah harapan kalah telak menggelanyuti. Salahnya, aku terlalu cepat berharap itu. Elisa bukan hendak duduk, akan tetapi mencari tempat rebahan untuk buku sementara, sebelum dia memutuskan untuk mengembalikan.
“Tergantung konteknya, tatkala tuhan yang mengutuk hamba, maka seorang hamba dijauhkan dari kebaikan. Jika antar sesamanya maka dia memohon kepada tuhan agar orang yang dikutuk itu dijauhkan dari kebaikan.” Sanggahanku boleh juga. Batinku membusung.
Tiba-tiba saja, perasaan bersalah menukik tajam ke arah jantungku tak berkedip. Nurani tetaplah nurani. Karunia sang Pencipta untuk mengahdirkan kedamaian. Lelah juga rasanya jika memperturutkan nafsu, tahta keegoisan. Selubung sesal terselip diantara jerami kebusukanku.
“Ya, hal itu terjadi dalam dogma agama bahwa orang yang mengutuk suatu makhluk, contohnya keledai yang lemot jalannya, saat itulah keledai itu harus dianggurkan dan tidak layak pakai lagi, karena telah terkontaminasi oleh kutukan atau bahasa lainnya adalah sumpah serapah. Oleh sebab itu, jangan mudah menyumpahi oranglain, sebab siapa tahu kita membutuhkannya padahal sudah tidak layak pakai.” Elisa memaparkan pemahamannya lebih serius. Tak ada nada joke lagi, cengengesannya berubah drastis buah ketulusan yang terpancar. Tak lagi ada peremehan maupun sok dari tuturnya.
Aku jadi malu sendiri.
“waduh, aku nggak ikut-ikut ya. Bagaimana jika dikutuk jadi kacang ijo?” aku meminta pendapat.
“Lha itu lah dia... mengulang kataku tadi, prasangka baik! Siapa tahu kutukan itu sarat akan makna, antara lain; kacang ijo itu sangat bermanfaat bagi kesehatan dan perkembangan anak. Kutukan kacang ijo itu berharap bagi yang belum produktif tetap menghasilkan manfaat untuk orang sekitarnya. Bisa kau jelaskan apa saja manfaat kacang ijo?”
Dia menghela napas panjang, memutar arah dan duduk di kursi terdekat. Aku pun mengekor tindakannya otomatis. Ada kedekatan disana. “Hm, kalau itu mungkin selayaknya ditanyakan pada mbah google. Sebab yang ku tahu dari masa kecilku dulu, bolak balik ke rumah sakit karena harus mengeluarkan biji-biji kacang ijo yang telah menyumbat lubang telinga dan hidungku. Kalau kamu?”
Aku tak lagi meyakinkan keegoanku untuk gagah atas nurani. Perdebatan ini bakal tak berujung, atau bahkan menjadi pemantik permusuhan.
“Kalau itu jelas keluar dari pembahasan kita kali ini. memangnya tak ada ungkapan lain ya?” Elisa merajuk sambil menyandarkan dagunya di sandaran kursi. Mirip seorang balita yang tidak dipenuhi keinginannya, tapi terus meminta. Aku tersenyum girang.
“Saya berusaha memenuhi saranmu tadi, yaitu berpikir positif. Jika kau katakan tadi, Bisa kau jelaskan apa saja manfaat kacang ijo, maka sekarang aku menjelaskannya berdasarkan pengalamanku. Kacang ijo itu bermanfaat untuk menyumbat lubang hidung dan telinga…

?!?!?!

0 komentar:

 

Sabaqaka Ukasyah Copyright © 2009 Girlymagz is Designed by Bie Girl Vector by Ipietoon

Modified by Abu Hamzah for Ukasyah Habiby