Beberapa waktu lalu, saya membaca artikel di sebuah portal
yang dikirim oleh seorang teman, dengan tema penganiayaan. Padanya
diawali dengan judul “Inilah Cerita Sadis Junko Furuta yang Disekap,
Diperkosa, dan Disiksa Selama 44 Hari”. Disebutkan bahwa Junko Furuta
adalah remaja seumuran SMA.
(lihat http://terlampau.wordpress.com/2011/06/02/inilah-cerita-sadis-junko-furuta-yang-disekap-diperkosa-dan-disiksa-selama-44-hari/).
Terus terang sebagai anak manusia yang dikaruniai perasaan dan hati nurani, tak kuat membacanya sampai detail, sesuai apa saja yang tertera pada tulisan tsb. apalagi junko furuta adalah perempuan layaknya saya sendiri.
Usai membaca berita ‘kuno’ itu, saya sangat tidak nyaman dalam menjalani setiap aktivitas saya. Saya menyebutnya kuno, karena memang peristiwa itu terjadi pada November tahun 1988. Postingan ulang itu bertujuan untuk mengenang penderitaanya.
Dalam benak saya, bagaimana mungkin sesama anak manusia tega melakukan tindakan biadab seperti itu, bahkan pelakunya adalah sepantaran remaja di bawah umur. Secara berkelompok menganiaya dengan korban perempuan seorang diri pula. Tak habis pikir, kebiadaban mereka tak lagi manusiawi, layak sejajar anak iblis.
Apa saja yang saya lakukan tak lepas dari bayang-bayang derita dan kekejian itu, hingga saya merasa sebentar lagi saya mati. Astaghfirullah... bagaimana bayangnya tidak berkelebat, orang fotonya terpampang jelas menjadi barang bukti kekejian mereka.
Kalau
sekedar mati tidak seberapa, yang menghantui saya itu adalah bagaimana
akhir hidup saya kelak, jika saya ada dosa dan belum sempat taubat,
tentu saya harus mempertanggungjawabkannya dalam proses hisab. Orang
dihisab berarti harus mencicipi neraka. Neraka penuh dengan siksa, siksa
itu mirip dengan apa yang dialami oleh junko furuta. Naudzubillahi min
dzalik.
Pada
sisi lain, bagaimana di akhirat kelak junko furuta menjalani
keabadiannya, mengingat bahwa dia orang jepang yang rata-rata
penduduknya adalah non-muslim. Dugaan otomatisnya, dia juga non-muslim.
Dalam standar rahmat Allah, keimanan adalah modal utama masuk ke surga
dan tidak di neraka. Bagi non-muslim sudah pasti dia tidak memiliki
modal tsb. Mau tak mau saya ditarik pada perkiraan bahwa jika benar dia
non-muslim, maka dia akan kekal di neraka, sebuah kesengsaraan yang
abadi. Sungguh miris hati ini, betapa di dunia dia telah melewati masa
pedih yang menyakitkan. Berlanjut pada takdir keabadian yang juga
menuntutnya menjadi pesakitan akibat kekafirannya.
Kasihan...Di lain hal, saya sedikit terhibur dengan akibat yang akan ditanggung oleh para biadab itu. Kegeraman ini akan dijawab oleh Allah, yaitu kelak Allah akan menyiksa mereka 10x lipat lebih keji dan tega dari apa yang telah mereka perbuat. Mereka akan berteiak dengan lolongan yang menyayat akan tetapi tidak ada istilah perikemanusiaan lagi, karena yang menyiksa adalah para malaikat. Malaikat itu tugasnya hanya taat, taat dan taat pada suatu perintah. Ah, tak bisa dibayangkan balasan atas kebiadaban mereka kelak.
Aku jadi penasaran... Huft!Wejangan demi wejangan dituliskan di poltar itu, dengan penyajian yang gamblang hingga selembar demi selembar perharinya dikupas tuntas. Sesekali tertera tanggal untuk meyakinkan kisah bejat itu. Siapapun yang membaca kisah ulang peristiwa itu serasa digerus kremus-kremus hatinya tanpa ampun. Ngilu perasaan ini. Akibatnya, kenyamanan hidup serasa dipasung dan diobrak abrik privasinya tanpa ampun.
Hebatnya...
Di akhir-akhir kisah itu, saya dikejutkan dengan sebuah ungkapan yang menohok nurani siapapun yang mengaku sebagai hamba Allah...
“Author : Hanya satu yang kita bayangkan. Dimana Tuhan saat dia tersiksa !”
Terus terang saya menangis dan terasa ditempiling. Bagaimana tidak ketika kekuasaan Allah diragukan tanpa rasa sungkan melalui ungkapan itu. Terlepas dari niat awal penulisan itu, seberapapun geram atau sekedar menuangkan nada kekecewaannya terhadap sang pemelihara (tuhan), sehingga Author itu menuliskan kata-kata hebatnya. Siapa pun yang akan membaca kalimat itu mau tak mau dipaksa pada satu opini, bahwa tuhan (klu saya Allah) tidak mampu berbuat apa-apa. Tuhan nyatanya lemah.
Lalu apa hakikat dibalik sikap diam tuhan itu?
Jika yang digugat adalah Allah, maka saya katakan berdasarkan kalamullah, yaitu “Allah itu Dzat yang menciptakan kematian dan kehidupan agar supaya menguji kalian, mana diantara kalian yang paling bagus amalannya.” (QS. Al Mulk: 2).
Kita hidup di dunia ini sesuai takdir Allah dan nantinya ketika tiba saatnya mati, juga berdasarkan takdir Allah pula. Proses kehidupan menuju kematian ini cukup beragam untuk para hambaNya yang bergam pula. Keragaman proses menuju kematian ini menunjukkan bahwa kekuasaan Allah tiada berbanding. Ibarat seorang sutradara film , dia akan dianggap sutradara kreatif ketika karyanya beragam. Jika itu-itu saja, orang tidak akan menganggapnya sebagai sutradara handal dan profesional. Demikianlah Allah membuat skenario kehidupan ini dengan maksud menguji hamba-hambaNya.
Dalam pada ini, kita lupa bahwa seberapa banyak kita telah membalas kebaikan Allah akan karunia nikmat-nikmatNya. Alih-alih membalas kenikmatan yang telah dikaruniakan dengan mensyukuri dan berterima kasih, justru kita telah berkali-kali mengkhianati, menyalahi perintahnya dan menerjang laranganNya. Namun, apa tindakan Allah dengan segala bangkangan hambaNya ini? Diam dan memberi tenggang agar sewaktu-waktu tergerak untuk bertaubat.
Betapa nikmat-nikmat Allah terampas haknya untuk disyukuri, ini diuji sebuah skenario setitik saja, menggugat tanpa sungkan sama sekali.
Owgh... inikah kebijakan dan keadilan.
Dalam
hukum pergaulan antar manusia saja, terbetik sebuah kesepakatan tak
tertulis, bahwa sangat dibenarkan sekali ketika simbiosis mutualisme
antar sesama itu sangat dibutuhkan. Apalagi hubungan dengan Allah
Ta’ala, yang lebih dari sekedar mutualisme. Bahkan mutlak syukurisme,
yaitu paham rasa syukur kepada Allah Ta’ala.
MARI BUDAYAKAN SYUKURISME DGN HUSNUDHAN KEPADA ALLAH
El Faqira ila rahmatil Qadir
~YM~
0 komentar:
Posting Komentar