Pada kesempatan kali ini, indiva menggelar acara temu para penulis dengan tema “jurus jitu menembus penerbit”. Temanya sungguh menggirukan dan mati-matian, karena terkait kepercayaan hadirin atau minimal yang membaca pengumuman.
Acara ini dimoderatori oleh pak Lilik (?) dengan mukaddimah yang masih sayup-sayup, karena memang hadirin belum begitu banyak, sehingga tidak perlu ngotot. Usai mukaddimah, barulah giliran para pembicara unjuk kebolehan. Pembicara pertama adalah Pak Aris Adenata.
Menurutnya, seharusnya penulis mengenali dulu redaktur media. Tak kenal maka tak sayang. Karakter tiap individu berbeda-beda. Sebab, setiap media memiliki karakter dan ideologi sendiri. Suatu hal mustahil, tatkala naskah kita bertema potensi remaja muslim, dikirimkan ke majalah PLAYBOY untuk diterbitkan. Atau naskah standar playboy bertema jihad.
Usai kita mengenal redaktur, maka kita akan dihadapkan pada masalah kompromi. Kompromi di sini merupakan Dengan adanya kompromi disini, merupakan langkah titik temu antar karya kita dengan pihak penerbitan. Kompromi ini tidak berarti harus menggadaikan idealisme kita.
Kita sering mengambinghitamkan kesibukan. Sibuk mengurus anak, suami, pekerjaan kantor dan semacamnya. Jika hal ini dituruti maka tak akan habis alasan satu persatu bermunculan. Justru terkadang semakin pekerjaan menumpuk, semakin giat memanfaatkan waktu luang. Semakin semangat mengoptimalkan waktu.
Sebagaimana yang dialami oleh mbak Farida, penulis karya bertema parenting. Ketika hanya menjadi ibu rumah tangga, dia belum menghasilkan karya. Namun, ketika dia mulai berkarir, justru karyanya bermunculan. Dia memanfaatkan waktu luang ketika anak dan suaminya istirahat. Sebab baginya menulis itu sebuah proses. Butuh ketekunan, ketelatenan, dan kesabaran. Jadi, tiap kali ada kesempatan, tak henti-hentinya dia menulis dan menulis.
Gaya bahasa dan tutur kata setiap individu beragam dan memiliki ciri khas masing-masing. Menjadi penulis boleh saja berawal dari meniru orang lain, tapi tak kalah penting untuk menjadi diri sendiri. Sebab sudah menjadi suratan bahwa tiap diri memiliki kekuarangan dan kelebihan yang tidak sama dengan orang lain. Tak satupun kerakter satu sama lain sama, paling banter hanyalah sebatas mirip.
Kemudian mbak Farida menambahkan, tulisan yang baik itu haruslah bersifat obyektif. Ketika sesi tanya jawab, saya bertanya, apa standar tulisan obyektif itu? Dia menjelaskan bahwa tulisan yang obyektif adalah ketika keberadaannya bisa diterima banyak kalangan. (dari sini saya bingung. Karena dasar pengertian obyektif itu tidaklah demikian. Lha, kalau banyak kalangan kita yang bermadzhab kiri, sedang tema yang kita sampaikan berlawanan dengan pendapat kita, bagaimana tuh?)
Selanjutnya pembicara ketiga adalah mbak Deasylawati. Intinya sama dengan pembicara sebelumnya, hanya saja ada note yang patut kita renungi bersama.
“kita tak akan pernah mengagumi karya kita sendiri ketika kita tak dapat mengagumi karya orang lain.” Di sini saya merasa kabur untuk mencapainya. Namun, sebuah analogi sederhana yang bisa membantu untuk memahami. “hormatilah orang lain maka kau bisa menghormati dirimu sendiri.”
Ah, ungkapan itu....
Pembicara berikutnya adalah mbak Fida. Menulis adalah proses untuk jujur pada diri sendiri. Jujur di sini mencakup pada berbagai hal, antara lain mengungkapkan apa adanya, tulus, akurat, menguasai materi dan menjiwai. Terkadang dibutuhkan pula, data adalah pengalaman pribadi. Tetap menghargai ide-ide orang lain dan fair. Ini adalah karakter orang yang obyektif. Orang yang obyektif, akan menghasilkan sudut pandang dari berbagai arah. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh mbak Deasylawati di atas.
Pesan kecil yang patut direnungi darinya adalah “Siapa memiliki dia akan memberi.” Apa yang dituliskan seseorang itu merupakan apa yang dia miliki dan dia berikan pada orang lain.
Kemudian pembicara terakhir adalah mbak Afifah Afra. Disebut sebagai eksekutor naskah. Ditangannya naskah-naskah itu mendapatkan keputusan layak terbit atau tidak. Mbak Afra lebih banyak menyinggung tentang indiva. Indiva hanya menerima naskah orisinil. Adapun segmen pembaca indiva adalah remaja 15 hingga dewasa 30-an. Jadi jangan berharap ada naskah yang membedah soal kehidupan dan pernak pernik lansia di penerbit ini.
Ah, sebetulnya masih ada beberapa yang tercecer. Saya belum sempat menuliskan semuanya, karena saya bawa “anak”, jadi terpaksa meladeninya terlebih dahulu... Mehehe
Ah, sebetulnya masih ada beberapa yang tercecer. Saya belum sempat menuliskan semuanya, karena saya bawa “anak”, jadi terpaksa meladeninya terlebih dahulu... Mehehe
0 komentar:
Posting Komentar