4/04/2013

Sekelumit 13-03-13 dan 14-03-13


@*@*@*@*@*@*@*@*@*@*@*@*@

Memulai perjalanan dengan pamit dari oratu. bil khusus ayahanda tercinta. saya meminta ijin memenuhi undangan PUSHAM UII pada pelatihan diseminarsi HAM dan HUMANITER internasional. tahukah dikau apa itu diseminarsi? diseminarsi sebutan sederhana adalah penyebaran doktrin. atau istilah mudahnya mengajari dan menjelaskan apa itu HAM dan HUMANITER. 
Tema yang (mungkin) dinilai hal yang aneh untuk anak seumuran saya yang juga "baru". 
sedihnya, ayah hanya mendiamkan saya tanpa memberi pernyataan mengijinkan. Boleh atau tidak, meski tetap mengijinkan pula.

Ok, singkat cerita akhirnya saya pun berangkat, meski dalam kondisi memendam ganjalan dari ayah.

Setiba saya di hotel cakra kusuma, saya sudah terlambat kurang lebih setengah jam.mendadak tubuh saya sedikit menegang, ketika mendapati sosok asing berdiri tegak sebagai pemateri. 


"Halah! apa pula ini"


Sesosok bule berdiri di tengah aula. Tubuhnya menjulang tinggi, mengenakan batik yang dibalut jas hitam. Suaranya membahana, menyihir para peserta. Saya terhenyak dan merasa aneh. Kemudian saya pun menengok ulang daftar acara yang sempat dikirim melalui email. Berangsur saya memngetahui bahwa ternyata sosok asing itu perwakilan dari ICRC. delegasi ICRC yang memiliki cabang di Indonesia. 


Sedikit beradaptasi, saya pelan-pelan berdamai dengan sikon. Sebelumnya, saya sempat menelaah sekilas terkait tema ini, karena memang background pribadi dan akademis bukanlah dari hukum. bila hukum Islam mungkin masih saya dapatkan bekalnya, tapi ini hukum international yang berusaha netral tanpa bicara agama.


Dengan berjalannya waktu, saya mulai memasuki menit-menit sesi pertama. Adalah Irene Herbeet, nama pemateri itu disebut oleh seorang teman, menjelaskan apa itu ICRC (International Comitte of the Red Cross).

dalam bahasa buminya adalah Komite Internasional Palang Merah.

dia memperkenalkan ICRC sekaligus menjelaskan visi misi yang diemban. 


ICRC didirikan oleh Henry Dunhant. warga negara Swiss yang terpanggil hati nuraninya begitu mendapati betapa memprihatinkannya para prajurit perang. seolah nyawa tidak berharga sama sekali. Dia terpanggil untuk merawat mereka yang masih hidup dan mengebumikan yang sudah mati. Nah, untuk lebih detailnya, silakan aja lari kesini ==> 


http://id.wikipedia.org/wiki/Komite_Internasional_Palang_Merah


dari sana kemudian mengetengahkan apa itu HAM dan Humaniter.

HAM mungkin sudah biasa di kalangan masyarakat umum yang tak banyak bersinggungan dengan hukum. Bila HAM sekilas diyakini adalah sebuah aksi pelestarian kemuliaan atau eksistensi manusia, maka untuk humaniter pun demikian. hanya saja, ada beberapa hal yang memebedakan keduanya.

1. wilayah kerja

2. subyek yang dikenai hukum
3. ?

untuk teori macam ini, saya bukan ahlinya, karena memang mengenal tentang ini, tergolong hal yang baru. Ada hal yang sedikit unik, minimal bagi saya pribadi. Saya benar-benar tak nyaman dengan bahasa yang dia bawakan, karena dia belum bisa menguasai bahasa Indonesia, maka terpaksa bicara dengan bahasa inggris. Bahasa inggris saya memang tergolong ketat. pasif dan saya dahulu memang membenci pelajaran ini. ternyata belajar saya dulu meski secara terpaksa, memiliki efek gunanya pula. "Little-little I can lah" bahasa gaulnya. 


Dengan bantuan seorang penerjemah, saya terus mendamaikan diri dan sedikit mengembangkan diri sendiri. Oke, tak baik memang jika memendam kebencian. Saya tetap harus mengikuti materi dan keep calm. Tak ada ruginya mendengarkan.


Waktu berlalu hingga di ujung sesi Ishoma. Kami semua berpencar, ada yang shalat, santai, dan makan siang. sewaktu saya makan siang, seorang teman membisikkan: "Mister Irene want to talk with you".


Serasa digebuk palu godam dari belakang. Bagiku itu suatu hal yang gila. Bagaimana tidak, saya hanya seorang anak gadis mungil nan unyu yang barusaja bisa mengelap ingus sendiri. sementara para peserta di acara ini adalah kalangan akademisi. Mereka orang-orang lebih hebat dari saya. Mereka lebih pantas untuk berbincang dengan sosok besar macam dirinya. sedangkan saya hanya anak kampung yang mendapatkan undangan acara saja. itu saja. 


"Mengapa tiba-tiba harus saya?" tanyaku aneh dan keki.

"Ya, dia tahu kamu bisa bahasa arab. Dia juga bisa, karena sudah sekira 15 tahun keliling di negara-negara timur tengah." jelas teman saya itu bersemangat.

Bukannya saya berbunga-bunga, tapi malah merasa gila. pria itu bak raksasa di gurun sahara. saya benar-benar tak nyaman. Satu hal yang menjadi stereotip di benak saya tentang dirinya adalah dia bule non-muslim. Entahlah, tiba-tiba saja yang tergambar di pikiran saya adalah tentara penjajah.


"Dia juga penasaran dan ingin bertemu abahmu." tandas teman saya itu lagi. wajah bangganya menyeruak gagah karena merasa serba tahu tentang saya, yang itu makin membuat saya jengah.


"Saya tak mau. Silakan kalau dengan ayah atau abah saya." jawabku lugas. mimik muka masamku membuatnya terhenyak.


"Eh, dia itu lucu loh. Orangnya menyenangkan."

"EGP!" tutupku tak mengindahkan. 

saya tahu, dia pasti kecewa. Jika saya bilang tidak mau, ya jangan memaksa. Semakin saya dipaksa semakin saya tidak suka.


Lucunya, ada seorang peserta lain yang dia itu ngebet dan terobsesi sangat dengan Mr. Bule. Segala gayanya banyak yang diabadikan di BB-nya. Tapi, mengapa Mr. Bule itu tidak mengajaknya saja. Padahal jelas dia sangat menginginkannya. Malah terbalik denganku.

Kemudian acara pun dilanjutkan melalui sesi demi sesi. dari sekian banyak sikap dan jeda waktu, saya tahu pria itu berusaha mencari celah dan kesempatan untuk bisa berbincang dengan saya. Bahkan ketika saya ke kamar mandi pun, dia juga butuh ke kamar mandi dan tampaknya belum ada keberanian untuk memulainya. saya masih bersikukuh dan tidak memberi kesempatan apapun. sedikit saya bersyukur memiliki wajah super serius, yang tidak mudah orang mempermainkan saya.


***


Hari kedua


Saya dijemput pukul 07.00 wib, menuju lokasi acara. Setiba di lokasi belum ada yang datang selain seorang panitia. Kami termasuk as-saabiqunal awwalun, karena peserta belum semuanya hadir. Akhirnya saya mengambil posisi strategis dan mempersiapkan diri mengikuti sesi acara lanjutan. Pria bule itu giat juga ternyata. sepagi ini dia sudah rapi. 


Teman saya menyapa dengan sapaan yang hangat. saya pun turut menatapnya sebagai penghormatan. Tanpa kata saya hanya mengangguk respek padanya. Pada saat itu, saya masih terngiang bisikan teman saya kemarin. Olehnya bagaimanapun saya merasa jengah, tetap saya bersikap respek karena dia adalah orang berilmu. 


tentu saja, bule itu juga tersenyum. Mirip senyuman ari wibowo. saya bukan terkesan dengan senyumnya, tapi lebih pada imajinasi liar yang mengarah senyuman itu tak ubahnya seringai para penjajah. 

Ah, sudahlah! Saya pun segera menyudahi dialog diri sendiri dan mengajak berbincang dengan teman di samping saya. 

Waktu terus berlalu, meretas menit-menit membanjir dalam kubangan ilmu. Sesekali kami sebagai anggota majlis mengajukan pertanyaan dan komentar dalam diskusi. Saling berbagi dan memberi. hingga tak terasa sesi breaking tiba.


Snack berjajar menanti sapaan dan belaian peserta. Saya menunggu suasana lengang agar tidak berdesak-desakan dengan mereka. Kemudian setelah lengang, baru saya pun melangkah  untuk menikmati snack itu. Beberapa peserta telah duduk rapi usai mengambil terlebih dahulu. tak disangka dan tak diduga, sang mister dan teman saya tadi sudah berdiri di belakang saya. 

"Ummi... mister mau ngomong sama kamu, lho"


Aawww... 


Saya pun gemetaran tak keruan. Ya Allah, ini benar-benar cetar membuaya. Satu hal yang ingin dan sangat ingin saya lakukan adalah... berteriak sekencang-kencangnya!


tapi itu tak mungkin. rasa jijik yang menyeruak sedikit mereda begitu saya membalikkan badan. pria bule itu setinggi 2 meter. Bak raksasa yang hendak menelan tubuhku yang mungil.


satu pertanyaan yang pertama kali dia ucapkan.


"Aina Ta'allamti?" 


Artinya "Dimana kuliahmu?". dari pertanyaan ini saya sedikit bisa memaafkan perbincangan ini. Setidaknya dia bisa meyakinkan saya bahwa dia bukanlah pria bule pada umumnya. Dia bukanlah bule yang jahat, mesum dan durjana. yang pasti dia tidak melihat seseorang berdasarkan fisik, tapi intelektual. Urusan hati siapa yang tahu. Hanya saja, kalimat pendek itu berhasil meruntuhkan cara pandang saya yang mungkin terlalu prematur. Saya sedikit luluh.


"Aamm... Al afwu mink ya sayyid. Fainny lam atahayya' li atakallam ma'ak. Ana murta'isah" jawabku seketika sambil memamerkan deretan gigiku menyeringai.


(Maaf, tuan. saya belum siap bicara denganmu. Saya gemetaran nih)

"Kalla...kalla" balasnya singkat upaya menenangkan.


huft, memangnya yusuf kalla. Bukan, saya bukan yusuf kalla. Batinku ngelantur.


"Ana yakhtalith bayna faransy, yamany, urdun, falistin... bla...bla..." Tampaknya dia ingin menjelaskan bahwa dia mampu menguasai beberapa bahasa, yang kalimatnya itu sedikit agak aneh bagiku. 


Saya hanya menggelengkan kepala sambil mengangkat gelas di tangan kanan dan snack di tangan kiri, sambil meminta maaf bahwa saya belum siap untuk berbincang dengannya. 

"Lakin bi hudu' ya sayyid. ente tatakkallam ma'al andunisy. La yaqbalu agresif." sergahku lugas sambil memohon maaf. Saya ingin dia tahu bahwa mendekati perempuan muslimah Indonesia itu tidak dengan cara yang agresif macam itu. Bule itu pun melotot sambil gelengkan kepala dan tersenyum dikulum.


Bisa dibayangkan, seketika itu juga semua mata memandang ke arah kami. Saya hanya bisa serah sambil menahan muka memerah. Rasa malu merajai diri. Beberapa ku dengar celetukan, "dia tadi bicara apa?"


Buff!


Pada akhir sesi, kami pun mulai bisa mencair. Terutama beberapa pertanyaanku yang mulai menyinggung soal agama/ideologi. Padahal apa yang dibahas dalam kemanusiaan itu rentan untuk bicara ideologi. Cairnya suasana ketika dia mulai menanggapi segala tanya dan komentar yang saya lempar. Bahkan sempat saya minta dia menjelaskan dengan bahasa arab,bukan bahasa inggris. Tentu saja, itu makin menggegerkan audiens. 

Saya tak peduli. 


semua berjalan normal hingga di akhir sesi. 


Acarapun selesai, kami semua melangkah keluar pergi meninggalkan lokasi. Satu persatu peserta pergi, sementara aku menunggu jemputan adikku. 

Tiba-tiba saja seseorang menyapaku...

"Ma'assalamah, Ilaliqa'"


itu merupakan sapaan sayonara.

wajahku menengadah memastikan suara. ternyata sesosok pria bule yang menjulang tinggi itu sumber suaranya. tubuhnya sedikit membungkuk untuk menyesuaikan wajahku yang menunduk.


Kami pun tertawa.


"mm... ya sayyid. ufadhdhiluk litahdhura ila bayty, wa abaty." sergahku ramah. saya mempersilakannya untuk bertandang ke rumah.


"hmm, bissurur alath thab'i. walakinn... ayna ta'allamti?"


sekali lagi pria itu bertanya dengan pertanyaan yang sama. Dia bertanya dimana saya kuliah. Mengapa pula saya bisa gabung di PUSHAM UII. Apakah saya termasuk anak-anak universitas Islam Indonesia.

Saya sempat bingung bagaimana menjelaskannya.

"Ana ta'allamtu tahta tarbiyati aby wa ashdiqa'ih."

mau tak mau saya hanya bisa menjelaskan bahwa saya berkembang di bawah pendidikan ayah dan teman-temannya.

"Oo... tarbiyatun shahihah, ye."


Dia menegaskan bahwa pendidikan orangtua adalah pendidikan yang baik.

Kami pun tertawa bersama.


Saya senang orang ini memperhatikan dunia pendidikan. Bukan materi maupun fisik yang serba-serbi.




@*@*@*@*@*@*@*@*@*@*@*@*@

3 komentar:

Unknown on 4 Apr 2013, 06.16.00 mengatakan...

Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?

Anonim mengatakan...

Di kampus kami, UMY. yang terhormat Mr. Irene Herbert ini juga menjadi pembicara dalam acara yang sama. Workshop Islam and Humanitarian in Southeast Asia selama 3 hari baru saja berakhir tanggal 28 Juni kemarin.

Menurut saya, anda agak terlalu berlebihan dalam menggambarkan sosok Bule yang sepertinya menakutkan dalam cerita anda. Irene itu Bule yang sangat sopan.

Hati-hati loh, dia juga bisa bicara bahasa indonesia. Kalau dia iseng iseng searching, dan nemu blog anda, bisa lain lagi loh ceritanya. baiknya menulislah yang baik2 saja, tentang apapun. Bukan tentang asumsi asumsi yang ternyata tidak benar adanya

ukasah habiby on 1 Agu 2013, 21.53.00 mengatakan...

hehe... memang Mr. Irene setahu saya adalah orang yang baik. itu penutupan yang tertera sudah saya sebutkan. Mungkin anda sendiri yang berlebihan mempertuhankannya. bukankah saya berkisah tentang apa yang saya rasakan sebelum dan sesudah mengenal dirinya, Saudara Anonim :)

 

Sabaqaka Ukasyah Copyright © 2009 Girlymagz is Designed by Bie Girl Vector by Ipietoon

Modified by Abu Hamzah for Ukasyah Habiby