11/23/2011

GUGATAN PADA TUHAN

Beberapa waktu lalu, saya membaca artikel di sebuah portal yang dikirim oleh seorang teman, dengan tema penganiayaan. Padanya diawali dengan judul “Inilah Cerita Sadis Junko Furuta yang Disekap, Diperkosa, dan Disiksa Selama 44 Hari”. Disebutkan bahwa Junko Furuta adalah remaja seumuran SMA.



(lihat http://terlampau.wordpress.com/2011/06/02/inilah-cerita-sadis-junko-furuta-yang-disekap-diperkosa-dan-disiksa-selama-44-hari/).


Terus terang sebagai anak manusia yang dikaruniai perasaan dan hati nurani, tak kuat membacanya sampai detail, sesuai apa saja yang tertera pada tulisan tsb. apalagi junko furuta adalah perempuan layaknya saya sendiri.


Usai membaca berita ‘kuno’ itu, saya sangat tidak nyaman dalam menjalani setiap aktivitas saya. Saya menyebutnya kuno, karena memang peristiwa itu terjadi pada November tahun 1988. Postingan ulang itu bertujuan untuk mengenang penderitaanya.


Dalam benak saya, bagaimana mungkin sesama anak manusia tega melakukan tindakan biadab seperti itu, bahkan pelakunya adalah sepantaran remaja di bawah umur. Secara berkelompok menganiaya dengan korban perempuan seorang diri pula. Tak habis pikir, kebiadaban mereka tak lagi manusiawi, layak sejajar anak iblis.

Apa saja yang saya lakukan tak lepas dari bayang-bayang derita dan kekejian itu, hingga saya merasa sebentar lagi saya mati. Astaghfirullah... bagaimana bayangnya tidak berkelebat, orang fotonya terpampang jelas menjadi barang bukti kekejian mereka.

Kalau sekedar mati tidak seberapa, yang menghantui saya itu adalah bagaimana akhir hidup saya kelak, jika saya ada dosa dan belum sempat taubat, tentu saya harus mempertanggungjawabkannya dalam proses hisab. Orang dihisab berarti harus mencicipi neraka. Neraka penuh dengan siksa, siksa itu mirip dengan apa yang dialami oleh junko furuta. Naudzubillahi min dzalik.

tiada bagian sejengkal pun yang lolos dari siksaan


Pada sisi lain, bagaimana di akhirat kelak junko furuta menjalani keabadiannya, mengingat bahwa dia orang jepang yang rata-rata penduduknya adalah non-muslim. Dugaan otomatisnya, dia juga non-muslim. Dalam standar rahmat Allah, keimanan adalah modal utama masuk ke surga dan tidak di neraka. Bagi non-muslim sudah pasti dia tidak memiliki modal tsb. Mau tak mau saya ditarik pada perkiraan bahwa jika benar dia non-muslim, maka dia akan kekal di neraka, sebuah kesengsaraan yang abadi. Sungguh miris hati ini, betapa di dunia dia telah melewati masa pedih yang menyakitkan. Berlanjut pada takdir keabadian yang juga menuntutnya menjadi pesakitan akibat kekafirannya.

Kasihan...
Di lain hal, saya sedikit terhibur dengan akibat yang akan ditanggung oleh para biadab itu. Kegeraman ini akan dijawab oleh Allah, yaitu kelak Allah akan menyiksa mereka 10x lipat lebih keji dan tega dari apa yang telah mereka perbuat. Mereka akan berteiak dengan lolongan yang menyayat akan tetapi tidak ada istilah perikemanusiaan lagi, karena yang menyiksa adalah para malaikat. Malaikat itu tugasnya hanya taat, taat dan taat pada suatu perintah.  Ah, tak bisa dibayangkan balasan atas kebiadaban mereka kelak.

Aku jadi penasaran... Huft!
Wejangan demi wejangan dituliskan di poltar itu, dengan penyajian yang gamblang hingga selembar demi selembar perharinya dikupas tuntas. Sesekali tertera tanggal untuk meyakinkan kisah bejat itu. Siapapun yang membaca kisah ulang peristiwa itu serasa digerus kremus-kremus hatinya tanpa ampun. Ngilu perasaan ini. Akibatnya, kenyamanan hidup serasa dipasung dan diobrak abrik privasinya tanpa ampun.

Hebatnya...
Di akhir-akhir kisah itu, saya dikejutkan dengan sebuah ungkapan yang menohok nurani siapapun yang mengaku sebagai hamba Allah...

“Author : Hanya satu yang kita bayangkan. Dimana Tuhan saat dia tersiksa !”

Terus terang saya menangis dan terasa ditempiling. Bagaimana tidak ketika kekuasaan Allah diragukan tanpa rasa sungkan melalui ungkapan itu. Terlepas dari niat awal penulisan itu, seberapapun geram atau sekedar menuangkan nada kekecewaannya terhadap sang pemelihara (tuhan), sehingga Author itu menuliskan kata-kata hebatnya. Siapa pun yang akan membaca kalimat itu mau tak mau dipaksa pada satu opini, bahwa tuhan (klu saya Allah) tidak mampu berbuat apa-apa.  Tuhan nyatanya lemah.

Lalu apa hakikat dibalik sikap diam tuhan itu?
Jika yang digugat adalah Allah, maka saya katakan berdasarkan kalamullah, yaitu “Allah itu Dzat yang menciptakan kematian dan kehidupan agar supaya menguji kalian, mana diantara kalian yang paling bagus amalannya.” (QS. Al Mulk: 2).

Kita hidup di dunia ini sesuai takdir Allah dan nantinya ketika tiba saatnya mati, juga berdasarkan takdir Allah pula. Proses kehidupan menuju kematian ini cukup beragam untuk  para hambaNya yang bergam pula. Keragaman proses menuju kematian ini menunjukkan bahwa kekuasaan Allah tiada berbanding. Ibarat seorang sutradara film , dia akan dianggap sutradara kreatif ketika karyanya beragam. Jika itu-itu saja, orang tidak akan menganggapnya sebagai sutradara handal dan profesional. Demikianlah Allah membuat skenario kehidupan ini dengan maksud menguji hamba-hambaNya.

Dalam pada ini, kita lupa bahwa seberapa banyak kita telah membalas kebaikan Allah akan karunia nikmat-nikmatNya. Alih-alih membalas kenikmatan yang telah dikaruniakan dengan mensyukuri dan berterima kasih, justru kita telah berkali-kali mengkhianati, menyalahi perintahnya dan menerjang laranganNya. Namun, apa tindakan Allah dengan segala bangkangan hambaNya ini?  Diam dan memberi tenggang agar sewaktu-waktu tergerak untuk bertaubat.
Betapa nikmat-nikmat Allah terampas haknya untuk disyukuri, ini diuji sebuah skenario setitik saja, menggugat tanpa sungkan sama sekali.

Owgh... inikah kebijakan dan keadilan.

Dalam hukum pergaulan antar manusia saja, terbetik sebuah kesepakatan tak tertulis, bahwa sangat dibenarkan sekali ketika simbiosis mutualisme antar sesama itu sangat dibutuhkan. Apalagi hubungan dengan Allah Ta’ala, yang lebih dari sekedar mutualisme. Bahkan mutlak syukurisme, yaitu paham rasa syukur kepada Allah Ta’ala.

MARI BUDAYAKAN SYUKURISME DGN HUSNUDHAN KEPADA ALLAH


El Faqira ila rahmatil Qadir

~YM~
Continue Reading...

8/08/2011

Jurus Jitu Menembus Penerbit


Pada kesempatan kali ini, indiva menggelar acara temu para penulis dengan tema “jurus jitu menembus penerbit”. Temanya sungguh menggirukan dan mati-matian, karena terkait kepercayaan hadirin atau minimal yang membaca pengumuman.

Acara ini dimoderatori oleh pak Lilik (?) dengan mukaddimah yang masih sayup-sayup, karena memang hadirin belum begitu banyak, sehingga tidak perlu ngotot. Usai mukaddimah, barulah giliran para pembicara unjuk kebolehan. Pembicara pertama adalah Pak Aris Adenata.
Menurutnya, seharusnya penulis mengenali dulu redaktur media. Tak kenal maka tak sayang. Karakter tiap individu berbeda-beda. Sebab, setiap media memiliki karakter dan ideologi sendiri. Suatu hal mustahil, tatkala naskah kita bertema potensi remaja muslim, dikirimkan ke majalah PLAYBOY untuk diterbitkan. Atau naskah standar playboy bertema jihad.
Usai kita mengenal redaktur, maka kita akan dihadapkan pada masalah kompromi. Kompromi di sini merupakan Dengan adanya kompromi disini, merupakan langkah titik temu antar karya kita dengan pihak penerbitan. Kompromi ini tidak berarti harus menggadaikan idealisme kita.
Kita sering mengambinghitamkan kesibukan. Sibuk mengurus anak, suami, pekerjaan kantor dan semacamnya. Jika hal ini dituruti maka tak akan habis alasan satu persatu bermunculan. Justru terkadang semakin pekerjaan menumpuk, semakin giat memanfaatkan waktu luang. Semakin semangat mengoptimalkan waktu. 

Sebagaimana yang dialami oleh mbak Farida, penulis karya bertema parenting. Ketika hanya menjadi ibu rumah tangga, dia belum menghasilkan karya. Namun, ketika dia mulai berkarir, justru karyanya bermunculan. Dia memanfaatkan waktu luang ketika anak dan suaminya istirahat. Sebab baginya menulis itu sebuah proses. Butuh ketekunan, ketelatenan, dan kesabaran. Jadi, tiap kali ada kesempatan, tak henti-hentinya dia menulis dan menulis.

Gaya bahasa dan tutur kata setiap individu beragam dan memiliki ciri khas masing-masing. Menjadi penulis boleh saja berawal dari meniru orang lain, tapi tak kalah penting untuk menjadi diri sendiri. Sebab sudah menjadi suratan bahwa tiap diri memiliki kekuarangan dan kelebihan yang tidak sama dengan orang lain. Tak satupun kerakter satu sama lain sama, paling banter hanyalah sebatas mirip.
 
Kemudian mbak Farida menambahkan, tulisan yang baik itu haruslah bersifat obyektif. Ketika sesi tanya jawab, saya bertanya, apa standar tulisan obyektif itu? Dia menjelaskan bahwa tulisan yang obyektif adalah ketika keberadaannya bisa diterima banyak kalangan. (dari sini saya bingung. Karena dasar pengertian obyektif itu tidaklah demikian. Lha, kalau banyak kalangan kita yang bermadzhab kiri, sedang tema yang kita sampaikan berlawanan dengan pendapat kita, bagaimana tuh?)

Selanjutnya pembicara ketiga adalah mbak Deasylawati. Intinya sama dengan pembicara sebelumnya, hanya saja ada note yang patut kita renungi bersama.

“kita tak akan pernah mengagumi karya kita sendiri ketika kita tak dapat mengagumi karya orang lain.” Di sini saya merasa kabur untuk mencapainya. Namun, sebuah analogi sederhana yang bisa membantu untuk memahami. “hormatilah orang lain maka kau bisa menghormati dirimu sendiri.” 

Ah, ungkapan itu....

Pembicara berikutnya adalah mbak Fida. Menulis adalah proses untuk jujur pada diri sendiri. Jujur di sini mencakup pada berbagai hal, antara lain mengungkapkan apa adanya, tulus, akurat, menguasai materi dan menjiwai. Terkadang dibutuhkan pula, data adalah pengalaman pribadi. Tetap menghargai ide-ide orang lain dan fair. Ini adalah karakter orang yang obyektif. Orang yang obyektif, akan menghasilkan sudut pandang dari berbagai arah. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh mbak Deasylawati di atas. 

Pesan kecil yang patut direnungi darinya adalah “Siapa memiliki dia akan memberi.” Apa yang dituliskan seseorang itu merupakan apa yang dia miliki dan dia berikan pada orang lain.

Kemudian pembicara terakhir adalah mbak Afifah Afra. Disebut sebagai eksekutor naskah. Ditangannya naskah-naskah itu mendapatkan keputusan layak terbit atau tidak. Mbak Afra lebih banyak menyinggung tentang indiva. Indiva hanya menerima naskah orisinil. Adapun segmen pembaca indiva adalah remaja 15 hingga dewasa 30-an. Jadi jangan berharap ada naskah yang membedah soal kehidupan dan pernak pernik lansia di penerbit ini.

Ah, sebetulnya masih ada beberapa yang tercecer. Saya belum sempat menuliskan semuanya, karena saya bawa “anak”, jadi terpaksa meladeninya terlebih dahulu... Mehehe
Continue Reading...

8/05/2011

IKHLAS DAN PAMRIH

Betulkah makna ikhlas itu tanpa pamrih bahkan kepada Alloh juga kita tdk boleh berpamrih? Hmmm
Didalam Alqur'an Allah berjanji akan memberikan pamrih dan sanksi. Namun sebaiknya yang kita harapkan ridhaNya. Mari kita simak Firman Allah SWT berikut : Memperoleh Keberkahan dan siksa

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."(QS.Al-A'raf​ : 96)

butuh pengorbanan untuk sebuah keikhlasan...

Menurut pandangan Mukhlisin, amal yang dikerjakannya itu tidak layak diminta suatu balasan dan ia melihat pahala sebagai suatu kebaikan Allah terhadap dirinya. Nabi Saw, "Sekali-kali amal seorang diantara kalian tidak akan mampu memasukkannya kedalam surga". Mereka bertanya "Tidak pula engkau wahai Rasulullah ?" Beliau menjawab "Tidak pula aku, kecuali Allah melimpahkan rahmatNya kepadaku" (HR.Muttafaqun 'alaih).

Berbadahlah dll dgn ikhlas...
Toh alloh s.w.t. Tidak tidur,maha melihat apa yg kita kerjakan.
Saya s7 dgn Pak Zulkarnain...
Alloh sudah menjajikan pahala setiap kebaikan yg kita kerjakan...

 
apakah pamrih selalu berkonotasi negatif..???

dalam ibadah apapun di mulai dg niat, coba baca artinya tidak adakah pamrih di sana...??

bukankah menjadikan ALLAH satu2nya tempat bergantung dalam dalam tauhid juga pamrih..??

menurut kadar pemahaman dan ketaatan manusia pamrih tertinggi adalah :
FAMAN KANA YARJU LIQA'A RABBIHI..
 
Arti IKHLAS itu apa sih....? Sesuatu yg berkaitan dengan Hati ...senang gembira bahagia riang...sehingga apabila dikaitkan dgn perbuatan adakah kondisi yg membuat hati senang gembira bahagia dan riang...?...masalah PAMRIH ga ada kaitannya sama IKHLAS atau tidak IKHLAS....Bicara PAMRIH kepada DZAT yg bernama ALLAH....itu mah HARUS karena kebutuhan Manusia kepada Khaliq...itu lah yg membedakan manusia dari makhluk yang lain...

IKHLAS kondisi SURGA....kondisi NERAKA sebaliknya....


  • ada shbt nnya ma abu bakar,ikhlas tu apa cih?mka ABKR pn ga tau,tnya ma NABI SAW,nbipn g tau,mka tnya ma Jibril,Jbrlpn g
    sekitar sejam yang lalu melalui Facebook Seluler ·

  • Abah Dacos Jibrilpn ga tau,mka tanya sama ALLOH,mka ALLOH mnjwb hanya AKULAH yg tau nilai keihlasan seorang hamba..
    sekitar sejam yang lalu melalui Facebook Seluler ·

  • Abah Dacos tpi ada tahapn2 agar mnjdi ikhlas,dn mngnai mnghrp pahala atw surga ,itu bkn trmsk sipat ria,atw dia tk ikhlas,sbb ALLOH
    sekitar sejam yang lalu melalui Facebook Seluler ·

  • Abah Dacos sbb ALLOH dn ROSULNYApn menganjurkan tk mminta itu,dn bnyk2 hdis2 yg mnrankn tntang pahala...
    sekitar sejam yang lalu melalui Facebook Seluler ·

  • Abah Dacos satu amal saja yg ikhlas hga d trima ma ALLOH,mka itu ckp tk mndtgkn ROHMAT ALLOH dn msk surga...
    sekitar sejam yang lalu melalui Facebook Seluler ·

  • Abah Dacos ‎"msuk surga bkn krna ibadahnya tpi krna rhmt ALLOH ?"justru dtgnya RHMT ALLOH tu krna ketaatannya,bkn krna kemaksiatnnya
  
  Apapun yg kita lakukan di dunia ini ..dampaknya adalah ke kita juga,, tinggal merenung aja..mau ikhlas atau tidak itu kan terserah msg² ..ga ada pengaruh buat DIA..
Continue Reading...

8/03/2011

Status Ramadlan Agus 2011

Selamat datang di bandara Al-Islam. 
Anda bergabung bersama RAMADLAN AIR, dgn no penerbangan 1432H. tujuan I.Fitri. Kita akan terbang dgn ketinggian 29/30 hr, di atas permukaan HAUS & LAPAR. Anda diwajibkan untk mengenakan sabuk PUASA & menegakkan kursi SHALAT. penerbangan ini bebas PERSELISIHAN. sampai jumpa dgn LAILATUL QADAR. mendarat pd tgl 29/30 sambil membawa FITRAH.

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADLAN
 01.
Ramadlan adalah penentu tindak-tanduk perbuatan & Sebuah Blue print kehidupan serta jejak kita di bulan2 selanjutnya. Jika Ramadlan kita Giat kebaikan& positif, Insya Allah hari2 luar ramadlan giat kebaikan& positif. Demikian pula sebaliknya, Jika maksiat& malas maka maksiat & malas yg mewarnai hari-harinya. Bagaimana kita mengukir jejak itu?
02.
Betapa byk org puasa, dipilihlah yg puasa lahir dan batin. puasa tidak hy cukup tnp makan dan minum. puasa juga olah jiwa disertai semangat islamiyah membara. bukan alasan lapar, maka boleh bermalas-malas. bukan krn dahaga lalu nyaman rendah kualitas kerja. Akankah semangat ramadlan ini berbuah amal shalihah?
02. 
Puasa itu Putuskan Dosa. seberapa jauh putusnya kita dari dosa?
03.
Laila adalah buah cinta Ramadan&Fitri. Jika tak ada Laila, maka diprediksi mandul. Demikian momen Ramadlan yg kita jalani, adakah lengkap dari ramadlan kita hingga Idul Fitri, mendapat kesempatan bersua dengan Lailatul Qadar?
Hingga pasangan ramadlan&Fitri kita tidak mandul?


 03.
Watak dasar manusia, ktka dilarang pd suatu hal, justru keinginan untk melakukannya semakin menjadi2. Adapun org yg ikhlas dan bertaqwa, dia mampu menguasai diri hingga larangan itu berhasil dia atasi pelaksanaanya. Dari usaha kerasnya itu, sepantasnya berhak mendptkan balasan kesuksesan tsb. Dmikian puasa memberi penghargaan bagi pelestarinya. Adakah kita bagian drnya?
04.
FB bisa berjam-jam atau minimal rutin permenit. kayuhan semangat tilawah bagus pula, bila frekuensinya tak mau kalah dengan program manuver FB/ dunia maya.
Sudahkah min 1 juz/hari ini?
Continue Reading...

Serapan dr pak LKH

Dialog dalam tanda petik :

1. Jika diakhiri dg ,/?/! narasi selanjutnya diawali huruf kecil
(kec. Nama dsb)
Contoh: “Aku Gelinding,” ucap Avi.

2. Jika diakhiri dg tanda . narasi lbh baik di paragraf selanjutnya (enter).
Contoh : “Aku gelinding.”
Dea prikitiew...prkitiew.
 
 Narasi dalam dialog :
1. Sebelum and sesudah dialog max 10 kata.
 Untuk yg sesudah dialog, narasi min 1 kalimat, kalimat selanjutnya di paragraf yang lain (di enter).
2. Ditengah dialog max 6 kata.
• Gambarkan perasaan n suasana dari dialog satu ke dialog selanjutnya. Shg perasaan pembaca mengalir.

Kelebihan dan kekurangan penulis sbg orang pertama
Kelebihan : mudah menggambarkan emosi tokoh ‘aku’ secara leluasa.
Kekurangan : ada keterbatasan saat menceritakan orang lain. Akan kelelahan bercerita karena selalu dr sudut pandang aku. Kebingungan ketika ingin menjelaskan suasa dimana ‘aku’ tidak ada di lokasi itu.

Pertanyaan di luar dialog yang membuat pembaca turut berpikir lebih baik drpd dalam dialog. Misalnya pr pak langit kemarin, Laki-laki panik dan berpikir jalan keluar apa yang bisa dilakukan. Apakah aborsi? Itu lebih baik drpd lelaki menanyakan lgsung pd wanita : “Apakah aborsi.”

Tidak menggunakan kata “Lanjutnya” Contoh :”…” ucapnya dingin, “…” lanjutnya. (keluar dari kelas saya! Begitu sang guru berkata)

Jangan menggunakan kata ‘si’ Contoh : si cewek, si Fulan, dsb. (pak guru keingat simbok…)
Kata “sembari” lbh baik diganti sambil.

Pak guru keingat jurus silat ketika kita menggunakan kata ‘sejurus’

Kata ‘di sini’, ‘di sana’, ‘di situ’ dsb, lebih baik diberi gambaran yang jelas letaknya dimana. Kalau contoh narasi, aku g punya.



tambahan :
~ Selalu memperhatikan hukum air mengalir. Sehingga dalam mengarang perlu membaca. Apakah sudah mengalir, perlu dibaca ulang dengan suara keras.
~ Ketemu "padahal" di enter.
~ Pengarang jangan turut ikut campur mengeluarkan pendapat..., misal : "Avi ki memang ga jelas gitu kok."
~ Ketika menulis novel, anda harus memanjakan pembaca dengan struktur yang mudah. Kata suhu kalo strukturnya ga jelas, jadi skripsi saja.
~ Membuat narasinya paling tidak minim 4 baris (kata suhu, "Ben ketok pinter"). Pula pertajam di tiap narasi dialog misal dengan membuat barang2 sekitar menjadi bernyawa.


Share dari anak FLP ranting UNS
Continue Reading...

8/02/2011

Lambaian Shadaqah Untuk Cinta


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Ash Sholatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin wa ‘ala alihith thohirina ajmain, amma ba’du:

Kekaguman dan kedekatan emosional adalah bagian dari sisi dimensi ekspresi. Cinta bukanlah semata-mata ungkapan “aku jatuh cinta”, melainkan sebuah bom waktu yang sewaktu-waktu berubah menjadi ledakan dahsyat. Ledakan dahsyat inilah yang akan memberikan dampak positif maupun negatif.
Manakala seorang muslim mengelola cintanya dengan baik sesuai ajaran dan tatanan Diennya, selayaknya dampak positif yang dia hasilkan. Mengapa tidak hal itu terjadi, padahal dimanapun muslim berpijak dan bergerak disanalah buliran keringatnya adalah pahala, sedang pahala mengalir pastilah adanya kebaikan dan kebaikan. Kebaikan yang menyebar itulah hakikat barokah dalam beramal.
Sebagaimana umumnya orang jatuh cinta, yaitu rasa ingin berbagi kasih sayang terhadap sesamanya. Kasih sayang itu biasa diwujudkan dengan perhatian atau pemberian materi, seperti bunga, coklat, makanan atau tetek bengek lainnya yang dirasa cukup mewakili rasa cinta itu. Keinginan macam ini merupakan fenomena cinta garis besar yang banyak terjadi di kalangan manusia.


Kekaguman dan kedekatan emosional adalah bagian dari sisi dimensi ekspresi. Cinta bukanlah semata-mata ungkapan “aku jatuh cinta”, melainkan sebuah bom waktu yang sewaktu-waktu berubah menjadi ledakan dahsyat. Ledakan dahsyat inilah yang akan memberikan dampak positif maupun negatif.
Manakala seorang muslim mengelola cintanya dengan baik sesuai ajaran dan tatanan Diennya, selayaknya dampak positif yang dia hasilkan. Mengapa tidak hal itu terjadi, padahal dimanapun muslim berpijak dan bergerak disanalah buliran keringatnya adalah pahala, sedang pahala mengalir pastilah adanya kebaikan dan kebaikan. Kebaikan yang menyebar itulah hakikat barokah dalam beramal.
Sebagaimana umumnya orang jatuh cinta, yaitu rasa ingin berbagi kasih sayang terhadap sesamanya. Kasih sayang itu biasa diwujudkan dengan perhatian atau pemberian materi, seperti bunga, coklat, makanan atau tetek bengek lainnya yang dirasa cukup mewakili rasa cinta itu. Keinginan macam ini merupakan fenomena cinta garis besar yang banyak terjadi di kalangan manusia.

Hal itu terbilang wajar bahkan pasaran. Orang mengalami kemelut rasa cinta dan berbunga-bunga kemudian berupaya mengekspresikannya dengan memberi hadiah istimewa pada sang pujaan. Adalah Islam menyediakan aplikasi indah sebuah ekspresi cinta bagi seluruh makhluk. Seorang muslim segala tindak tanduknya adalah shadaqah.
Sebagaimana sabda Nabi saw: “Setiap anggota badan manusia diwajibkan bershadaqah setiap hari selama matahari masih terbit. Kamu mendamaikan antara dua orang (yang berselisih) adalah shadaqah, kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah, berkata yang baik itu adalah shadaqah, setiap langkah berjalan untuk shalat adalah shadaqah, dan menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah ".
HR. Bukhari dan Muslim.
Jika artian shadaqah semata-mata memberikan sumbangan berupa materi, haruskah setiap hari mengeluarkan uang atau barang yang dipindahtangankan sehingga sewaktu-waktu tak ada, terpaksa untuk memaksa-maksa bahkan meminta-minta? Naif rasanya. Olehnya, betapa syari’at fleksibel memberikan peluang shadaqah ini dengan segala kemudahan balik modal bahkan bonus besar-besaran, yaitu cinta yang tersalur, pahala, kebaikan yang tersebar dan yang terpenting kasih dari Yang Maha Kasih. Allah Ta’ala.
Ekspresi cinta seorang muslim tidak berhenti pada orang yang dicintai, tebar pesona maupun royal hadiah istimewa. Ekspresi cintanya memiliki mata rantai yang bersambung antara nafsu, jiwa, obyek cinta dan sumber daya cinta itu sendiri (Allah Swt), sehingga tak ada ketimpangan dalam menggapai kesempurnaan cinta. Sekalipun sasaran cintanya adalah orang yang dia benci. Hmm, aneh bukan? Bagaimana mungkin seorang muslim bisa mencintai orang yang dia benci?
Kembali pada hakikat kewajiban shadaqah di setiap persendian tubuh manusia. Setiap hari jiwa seorang muslim dituntut update terus menerus hingga pantaslah kiranya barokah hidup dalam tiap denyut nadinya. Hadis riwayat Jabir bin Abdullah رضي الله عنه, ia berkata: Dua orang pemuda, yang satu dari golongan Muhajirin dan yang lain dari kaum Ansar, saling berbaku-hantam. Seorang dari kaum Muhajirin berteriak: Wahai kaum Muhajirin! Dan seorang dari Ansar juga berteriak: Wahai orang-orang Ansar! Kemudian keluarlah Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan berkata: Ada apa ini? Kenapa harus berteriak dengan seruan jahiliah? Mereka menjawab: Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah! Kecuali ada dua pemuda yang berkelahi sehingga seorang dari keduanya memukul tengkuk yang lain. Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: Kalau demikian, tidak apa-apa! Tapi hendaklah seseorang itu menolong saudaranya yang lain baik yang dhalim maupun yang didhalimi. Kalau ia berbuat kedhaliman hendaklah dicegah karena begitulah cara memberikan pertolongan kepadanya dan apabila dizalimi maka hendaklah ia membelanya­.­HR. Muslim
Kita tentu benci pada tindak kesewenang-wenangan. Pelaku yang sewenang-wenang ini justru mendapatkan bagian cinta kasih dari shadaqah kita. Cinta kasih itu  terangkum pada sikap untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan itu. Hanya saja, wujud cinta kasih itu tidak bisa disamakan bentuk dan kapasitasnya. Hal itu kembali pada niatnya pula. Tatkala niat kembali pada lillahi Ta’ala, maka amalan tersebut tergolong shadaqah. Sebuah efek domino, jika amalan sudah termasuk shadaqah, amalan itu diterima dan berpahala kemudian barakah umurnya, maka cinta kasih Allah Ta’ala menyertainya. Bila Allah Ta’ala mencintai hambaNya, seluruh penduduk langit dan bumi turut pula mencintai. Wallahu a’lam
Kekaguman dan kedekatan emosional adalah bagian dari sisi dimensi ekspresi. Cinta bukanlah semata-mata ungkapan “aku jatuh cinta”, melainkan sebuah bom waktu yang sewaktu-waktu berubah menjadi ledakan dahsyat. Ledakan dahsyat inilah yang akan memberikan dampak positif maupun negatif.
Manakala seorang muslim mengelola cintanya dengan baik sesuai ajaran dan tatanan Diennya, selayaknya dampak positif yang dia hasilkan. Mengapa tidak hal itu terjadi, padahal dimanapun muslim berpijak dan bergerak disanalah buliran keringatnya adalah pahala, sedang pahala mengalir pastilah adanya kebaikan dan kebaikan. Kebaikan yang menyebar itulah hakikat barokah dalam beramal.

Sebagaimana umumnya orang jatuh cinta, yaitu rasa ingin berbagi kasih sayang terhadap sesamanya. Kasih sayang itu biasa diwujudkan dengan perhatian atau pemberian materi, seperti bunga, coklat, makanan atau tetek bengek lainnya yang dirasa cukup mewakili rasa cinta itu. Keinginan macam ini merupakan fenomena cinta garis besar yang banyak terjadi di kalangan manusia.
Hal itu terbilang wajar bahkan pasaran. Orang mengalami kemelut rasa cinta dan berbunga-bunga kemudian berupaya mengekspresikannya dengan memberi hadiah istimewa pada sang pujaan. Adalah Islam menyediakan aplikasi indah sebuah ekspresi cinta bagi seluruh makhluk. Seorang muslim segala tindak tanduknya adalah shadaqah.
Sebagaimana sabda Nabi saw: “Setiap anggota badan manusia diwajibkan bershadaqah setiap hari selama matahari masih terbit. Kamu mendamaikan antara dua orang (yang berselisih) adalah shadaqah, kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah, berkata yang baik itu adalah shadaqah, setiap langkah berjalan untuk shalat adalah shadaqah, dan menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah ".
HR. Bukhari dan Muslim.
Jika artian shadaqah semata-mata memberikan sumbangan berupa materi, haruskah setiap hari mengeluarkan uang atau barang yang dipindahtangankan sehingga sewaktu-waktu tak ada, terpaksa untuk memaksa-maksa bahkan meminta-minta? Naif rasanya. Olehnya, betapa syari’at fleksibel memberikan peluang shadaqah ini dengan segala kemudahan balik modal bahkan bonus besar-besaran, yaitu cinta yang tersalur, pahala, kebaikan yang tersebar dan yang terpenting kasih dari Yang Maha Kasih. Allah Ta’ala.
Ekspresi cinta seorang muslim tidak berhenti pada orang yang dicintai, tebar pesona maupun royal hadiah istimewa. Ekspresi cintanya memiliki mata rantai yang bersambung antara nafsu, jiwa, obyek cinta dan sumber daya cinta itu sendiri (Allah Swt), sehingga tak ada ketimpangan dalam menggapai kesempurnaan cinta. Sekalipun sasaran cintanya adalah orang yang dia benci. Hmm, aneh bukan? Bagaimana mungkin seorang muslim bisa mencintai orang yang dia benci?
Kembali pada hakikat kewajiban shadaqah di setiap persendian tubuh manusia. Setiap hari jiwa seorang muslim dituntut update terus menerus hingga pantaslah kiranya barokah hidup dalam tiap denyut nadinya. Hadis riwayat Jabir bin Abdullah رضي الله عنه, ia berkata: Dua orang pemuda, yang satu dari golongan Muhajirin dan yang lain dari kaum Ansar, saling berbaku-hantam. Seorang dari kaum Muhajirin berteriak: Wahai kaum Muhajirin! Dan seorang dari Ansar juga berteriak: Wahai orang-orang Ansar! Kemudian keluarlah Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan berkata: Ada apa ini? Kenapa harus berteriak dengan seruan jahiliah? Mereka menjawab: Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah! Kecuali ada dua pemuda yang berkelahi sehingga seorang dari keduanya memukul tengkuk yang lain. Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: Kalau demikian, tidak apa-apa! Tapi hendaklah seseorang itu menolong saudaranya yang lain baik yang dhalim maupun yang didhalimi. Kalau ia berbuat kedhaliman hendaklah dicegah karena begitulah cara memberikan pertolongan kepadanya dan apabila dizalimi maka hendaklah ia membelanya­.­HR. Muslim
Kita tentu benci pada tindak kesewenang-wenangan. Pelaku yang sewenang-wenang ini justru mendapatkan bagian cinta kasih dari shadaqah kita. Cinta kasih itu  terangkum pada sikap untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan itu. Hanya saja, wujud cinta kasih itu tidak bisa disamakan bentuk dan kapasitasnya. Hal itu kembali pada niatnya pula. Tatkala niat kembali pada lillahi Ta’ala, maka amalan tersebut tergolong shadaqah. Sebuah efek domino, jika amalan sudah termasuk shadaqah, amalan itu diterima dan berpahala kemudian barakah umurnya, maka cinta kasih Allah Ta’ala menyertainya. Bila Allah Ta’ala mencintai hambaNya, seluruh penduduk langit dan bumi turut pula mencintai. Wallahu a’lam
Hal itu terbilang wajar bahkan pasaran. Orang mengalami kemelut rasa cinta dan berbunga-bunga kemudian berupaya mengekspresikannya dengan memberi hadiah istimewa pada sang pujaan. Adalah Islam menyediakan aplikasi indah sebuah ekspresi cinta bagi seluruh makhluk. Seorang muslim segala tindak tanduknya adalah shadaqah.
Sebagaimana sabda Nabi saw: “Setiap anggota badan manusia diwajibkan bershadaqah setiap hari selama matahari masih terbit. Kamu mendamaikan antara dua orang (yang berselisih) adalah shadaqah, kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah, berkata yang baik itu adalah shadaqah, setiap langkah berjalan untuk shalat adalah shadaqah, dan menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah ".
HR. Bukhari dan Muslim.
Jika artian shadaqah semata-mata memberikan sumbangan berupa materi, haruskah setiap hari mengeluarkan uang atau barang yang dipindahtangankan sehingga sewaktu-waktu tak ada, terpaksa untuk memaksa-maksa bahkan meminta-minta? Naif rasanya. Olehnya, betapa syari’at fleksibel memberikan peluang shadaqah ini dengan segala kemudahan balik modal bahkan bonus besar-besaran, yaitu cinta yang tersalur, pahala, kebaikan yang tersebar dan yang terpenting kasih dari Yang Maha Kasih. Allah Ta’ala.
Ekspresi cinta seorang muslim tidak berhenti pada orang yang dicintai, tebar pesona maupun royal hadiah istimewa. Ekspresi cintanya memiliki mata rantai yang bersambung antara nafsu, jiwa, obyek cinta dan sumber daya cinta itu sendiri (Allah Swt), sehingga tak ada ketimpangan dalam menggapai kesempurnaan cinta. Sekalipun sasaran cintanya adalah orang yang dia benci. Hmm, aneh bukan? Bagaimana mungkin seorang muslim bisa mencintai orang yang dia benci?
Kembali pada hakikat kewajiban shadaqah di setiap persendian tubuh manusia. Setiap hari jiwa seorang muslim dituntut update terus menerus hingga pantaslah kiranya barokah hidup dalam tiap denyut nadinya. Hadis riwayat Jabir bin Abdullah رضي الله عنه, ia berkata: Dua orang pemuda, yang satu dari golongan Muhajirin dan yang lain dari kaum Ansar, saling berbaku-hantam. Seorang dari kaum Muhajirin berteriak: Wahai kaum Muhajirin! Dan seorang dari Ansar juga berteriak: Wahai orang-orang Ansar! Kemudian keluarlah Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan berkata: Ada apa ini? Kenapa harus berteriak dengan seruan jahiliah? Mereka menjawab: Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah! Kecuali ada dua pemuda yang berkelahi sehingga seorang dari keduanya memukul tengkuk yang lain. Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: Kalau demikian, tidak apa-apa! Tapi hendaklah seseorang itu menolong saudaranya yang lain baik yang dhalim maupun yang didhalimi. Kalau ia berbuat kedhaliman hendaklah dicegah karena begitulah cara memberikan pertolongan kepadanya dan apabila dizalimi maka hendaklah ia membelanya­.­HR. Muslim
Kita tentu benci pada tindak kesewenang-wenangan. Pelaku yang sewenang-wenang ini justru mendapatkan bagian cinta kasih dari shadaqah kita. Cinta kasih itu  terangkum pada sikap untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan itu. Hanya saja, wujud cinta kasih itu tidak bisa disamakan bentuk dan kapasitasnya. Hal itu kembali pada niatnya pula. Tatkala niat kembali pada lillahi Ta’ala, maka amalan tersebut tergolong shadaqah. Sebuah efek domino, jika amalan sudah termasuk shadaqah, amalan itu diterima dan berpahala kemudian barakah umurnya, maka cinta kasih Allah Ta’ala menyertainya. Bila Allah Ta’ala mencintai hambaNya, seluruh penduduk langit dan bumi turut pula mencintai. Wallahu a’lam
Continue Reading...

Bismillahirrahmanirrahim

Lalu lalang kendaraan bermotor di jalanan berjubel kasar di telinga, tiada damai dalam sapanya. Deru mesin yang meraung tanpa santun bergumul dengan clometan klakson. Gaduh yang berjarak itu meski jauh dari mulut gang, tetap menyisakan onar. Keluar masuk para pengunjung perpustakaan menciptakan keriuhan yang hidup, mengekang kegigihan yang luluh. Seolah semua penyaksi suasana itu tak sekalipun terganggu, termasuk juga aku.
Sesaat aku lalai dengan sosok di sudut rak terakhir, Elisa. Tetangga yang juga sahabat merangkap sebagai lawan. Lawan sebuah persaingan kehidupan yang lebih baik. Ada suatu hal yang ingin ku bicarakan padanya. Dalam hitungan detik aku pindah posisi lebih dekat dengannya.
“Smsmu jorok,” seruku tiba-tiba tanpa mukaddimah sama sekali. 
“Pake’ Eek segala.” Nada kesalku terbias dengan wajah senyuman, hingga bukan kesan marah sungguhan yang dia terima. Wajah elisa mendongak tanpa dosa, beradaptasi dengan kesenjangan pikiran membaca dan menyikapiku.
“Lha, kau sendiri malah ngomong  jorok.” Sergahnya tak mau kalah. 
Alisnya bergerak-gerak isyarat gokil tiap mendapat angin segar. 
“Tuh, barusan.” Santai terdengar meski sengol dirasa. 
Matanya kembali mengekori deretan huruf dari buku tebal yang dia pegang. Tak menganggap pentingnya teguranku. Mungkin dengan itu, aku akan menyudahinya. Pada nyatanya,  Justru itu membuatku semakin bersemangat.
“Aku hanya kasih tahu bahwa smsmu yang ‘itu’ tidak pantas”. 
Volume dan intonasi bicaraku tetap bertahan pada kestabilan. Jempolku berdansa di atas tuts Qwerty, membuka inbox yang dikirim olehnya. Sebuah barang bukti. Begitu sms yang ku maksud berhasil terbuka, dia tersenyum tanpa kendali. Ekspresi spontan tak tertahan.
     “Hm, hanya orang-orang yang berprasangka baik sajalah yang bisa mengambil hikmah dari itu.”
Dalihnya tiada beban. Buku di tangannya sedikit terguncang reaksi dari perubahan posisinya berdiri, beberapa lembarnya melet-melet acak.

“Ya, hikmah yang kau maksudkan itu lancarnya pencernaanmu hari ini.” Tambahku seolah mendukung. 
Aku menatap bola matanya untuk menangkap arah koneksi diantara kami. Gerakan matanya memiliki banyak fokus sebagai obyek pandangan. Ke arah kanan dan kiri serta memutar, naik turun. Itu artinya dia sedang mencari jawaban pukil nan cengengesan, bahkan licik. 
“Dengan kata lain kau hendak mengabarkan percernaan saya baik-baik saja. Saya sehat. Begitu?” kataku lagi. 
Sebuah pertanyaan yang pasti ada jawabnya. Aku terpaksa mengingat sejarah kebiasaan-kebiasaannya yang dulu, agar bisa waspada dalam batas sewajarnya.
Namun, tampaknya dia tak mau kalah. Serangkaian alasan dikeluarkan meski jelas menggambarkan argumen yang dipaksakan. “Bisa jadi lebih dari itu”. Tukasnya pasti dan mulai bersemangat. Dia mulai menghadapkan penuh muka dan badannya ke arahku. Sementara buku itu masih terbuka lebar di tangan kanannya.
“Dalam agama, shodaqoh adalah harta yang bukan hak kita. Adanya shodaqoh bertujuan untuk membersihkan harta kita. Artinya, shodaqoh itu kotoran harta kita yang selayaknya dilepaskan begitu saja”. cuping hidung jambunya kembang kempis dalam semangat yang mulai tersulut.
“Mana ada orang BAB, kotorannya dikutit terus kemana perginya? So, sudahkah anda *sensor* hari ini?” 
Presentasi elegan yang jelas dipaksakan, tapi tetap ku anggap sebagai humor pendidikan. Boleh pula menjadi sebuah penuturan tak terbantahkan, sebuah indikasi kemenangan. Terbukti alisnya semakin terangkat dan sesungging senyum ledek nangkring di wajah ovalnya.
Ekspresinya makin membuatku optimis menyandu debat. Aku tak mau kalah.
“Dan itu filosofi yang dicipta secara dadakan, kalau tidak mau dibilang su’udhon maka saya menuduh demikian. Nah, maksudmu hal itu bagian hikmah sms “sensor” itu?” desirku terkikik beriring pasang wajah sok serius. Tak sungkan tangan naik turun, menguatkan argumen tak jelas juntrung dalil dan referensinya.

“Tepat sekali. Hanya orang-orang yang berpikiran maju dan selalu berprasangka baik yang mampu mengolah segala hal menjadi baik, sekalipun dari hal yang jorok.”
Disini kami mulai heboh. Buku di tangan elisa pun tertutup. Matanya berbinar dalam cumbuan senyum kesuksesan. Merasa di atas angin, dia mulai bertindak genit dengan kesombongan palsu. Sombong untuk joke kecil-kecilan.
Ok. Berbalaspun bukan suatu hal yang tabu, ku pikir.
“Lalu mengapa kemarin kau marah ketika ujung sepatumu terkena air kencing keponakan kecilku? Mana letak prasangka baik dari suatu hal jorok yang kau sarankan?” kali ini aku menyerang. Serangan dalam kungkungan persaingan untuk keunggulan sesaat. Sadarku lebih menetapi kesetian ego daripada logika. Sebuah alasan berteriak di hati, aku ingin menegurnya sekaligus tak mau mengalah demi gengsi.
“Itu sesuatu hal yang wajar. Bagaimana aku tidak marah, kalau bukan karena aku siap berangkat kerja, tiba-tiba keponakanmu kencing sembarangan.” Tukasnya cepat. Kali ini bola matanya mengarah ke kiri, dia mengingat sesuatu hal. Pena yang diselipkan diantara pipi dan lipatan jilbabnya merosot. Itu menggelitik senyum jenakanya. Gemas.
“Tapi, saat itu keponakan kecilku berlari ke arahmu mencari perlindungan karena ketakutan dengan anjing yang hampir saja menggigitnya. Pengaruh rasa takut itu mengakibatkannya terkencing-kencing.” Balasku tak kalah sergah. Mulutku sampai belepotan kata-kata. “Toh, itu bukan air kencing anjing yang perlu 7 kali penyucian dan terakhir dengan debu, kan? Mengapa kau tidak berprasangka baik, agar sepatumu tampak lebih bersih dan mengkilat.”
Kali ini aku yakin, dia sebetulnya sudah terpojok, akan tetapi gengsi dan ego kami tak beda jauh tarafnya. Akut!
“Owh...jadi balas dendam ini ceritanya.” Ungkapnya yang terkesan bego dan kehilangan jeda untuk segera menjawab. “Menurut film wushu warrior, kehebatan api naga hanya mau muncul ketika jiwa bersih dan tidak ada dendam. Dendam merupakan saudara kandung prasangka buruk.”
Aku tergelak hingga terbungkuk-bungkuk tak pasti. Kegaduhan mulai menggerayangi kami. Tanpa sadar itu memancing reaksi orang sekitar. Beberapa wajah pengunjung menatap dengan tampang masam. Mereka terganggu. Ups!
“Segala tindakan itu tak lepas dari efek domino sebab akibat. Ketika seseorang berbuat kebaikan, wajar sajalah jika kebaikan yang dia ketam. Demikian pula kejelekan. Ini impas dan dibenarkan dalam hukum manapun.”
Aku membisikkan seilmiah mungkin. Kali ini bisikan menjadi alternatif untuk melanjutkan perdebatan. Perdebatan asal-asalan versi kami berdua.
“Hukum manapun katamu...? Bukankah setiap dogma menanamkan kata maaf dalam kehidupan ini.” Elisan mengernyitkan dahinya.
Kepalanya merunduk dekat dengan wajahku. Dia juga berbisik. Tampaknya kami pantas menjadi bagian ibu-ibu muda suka gosip. Aksi mengendap-endap, membisik dan selundup-selundupan identik dengan gosipan.
“Maaf memang bagian dari etika kehidupan umat manusia. Namun, bukan alasan untuk menutup hukum sebab akibat, yaitu ganjaran.” Bantahku keras. Tak urung aku mulai mencari akar masalahnya. Takut juga jika meluber kemana-mana, toh mewaspadai jebakan debat tak berkesudahan.
“Dendam tidak sama dengan ganjaran.” Elisa membantah padat.
Bibirnya meletot tak berarah. Matanya mendelik sambil melirik kanan kiri. Itu artinya dia berusaha meyakinkan sekaligus menyudahi. Kami pada posisi seri. Kami menyadari perdebatan kami tak lebih dari keegoisan masing-masing. Bedanya, dia terlalu mencolokkan kesadarannya, yang itu memancing semangat gilaku utnuk mendebat lagi. Halah!
“Ganjaran itu balasan, sedang balasan tergantung baik buruknya amalan. Ada yang setimpal, ada yang bertimpal-timpal. Timpalan itulah sebab akibat.” Kali ini aku yang mulai kacau meracau tak keruan. Niat benar bisa pula berjalan pada proses kenaifan dan kemunafikan. “Lalu bagaimana menurutmu dengan kutukan?” Elisa memancing masalah baru. Lagi-lagi aku mau jadi ikan yang disodori kail. Debat mulai memasuki kawasan rawan kecelakaan. Sebab, ku dasari itu murni ego tak terkendali.
“Kutukan itu laknat, yang berarti sumpahan agar dijauhkan dari kebaikan, itu berlaku pada tuhan. Manakala seseorang mengutuk sesamanya atau makhluk yang lain, dia telah memosisikan dirinya sebagai tuhan.” Kendali ego yang seharusnya ditekan sekuat-kuatnya, malah disambut bak pangeran dan putri raja. Yakin saja, sahutan pun muncul, terus tumbuh bak cendawan di musim penghujan.
“Posisi tersebut bukan dalam artian sebenarnya, kan. Toh, pengutuk tetaplah pengutuk yang bukan tuhan. Itu sah saja terjadi. Memosisikan dirinya sebagai tuhan tak ubahnya dengan sok tuhan dan sok berkuasa.” Selorohnya lepas. Dia menoleh kanan kiri mencari tempat duduk.
Hm, capek juga. Pikirku riang. Secercah harapan kalah telak menggelanyuti. Salahnya, aku terlalu cepat berharap itu. Elisa bukan hendak duduk, akan tetapi mencari tempat rebahan untuk buku sementara, sebelum dia memutuskan untuk mengembalikan.
“Tergantung konteknya, tatkala tuhan yang mengutuk hamba, maka seorang hamba dijauhkan dari kebaikan. Jika antar sesamanya maka dia memohon kepada tuhan agar orang yang dikutuk itu dijauhkan dari kebaikan.” Sanggahanku boleh juga. Batinku membusung.
Tiba-tiba saja, perasaan bersalah menukik tajam ke arah jantungku tak berkedip. Nurani tetaplah nurani. Karunia sang Pencipta untuk mengahdirkan kedamaian. Lelah juga rasanya jika memperturutkan nafsu, tahta keegoisan. Selubung sesal terselip diantara jerami kebusukanku.
“Ya, hal itu terjadi dalam dogma agama bahwa orang yang mengutuk suatu makhluk, contohnya keledai yang lemot jalannya, saat itulah keledai itu harus dianggurkan dan tidak layak pakai lagi, karena telah terkontaminasi oleh kutukan atau bahasa lainnya adalah sumpah serapah. Oleh sebab itu, jangan mudah menyumpahi oranglain, sebab siapa tahu kita membutuhkannya padahal sudah tidak layak pakai.” Elisa memaparkan pemahamannya lebih serius. Tak ada nada joke lagi, cengengesannya berubah drastis buah ketulusan yang terpancar. Tak lagi ada peremehan maupun sok dari tuturnya.
Aku jadi malu sendiri.
“waduh, aku nggak ikut-ikut ya. Bagaimana jika dikutuk jadi kacang ijo?” aku meminta pendapat.
“Lha itu lah dia... mengulang kataku tadi, prasangka baik! Siapa tahu kutukan itu sarat akan makna, antara lain; kacang ijo itu sangat bermanfaat bagi kesehatan dan perkembangan anak. Kutukan kacang ijo itu berharap bagi yang belum produktif tetap menghasilkan manfaat untuk orang sekitarnya. Bisa kau jelaskan apa saja manfaat kacang ijo?”
Dia menghela napas panjang, memutar arah dan duduk di kursi terdekat. Aku pun mengekor tindakannya otomatis. Ada kedekatan disana. “Hm, kalau itu mungkin selayaknya ditanyakan pada mbah google. Sebab yang ku tahu dari masa kecilku dulu, bolak balik ke rumah sakit karena harus mengeluarkan biji-biji kacang ijo yang telah menyumbat lubang telinga dan hidungku. Kalau kamu?”
Aku tak lagi meyakinkan keegoanku untuk gagah atas nurani. Perdebatan ini bakal tak berujung, atau bahkan menjadi pemantik permusuhan.
“Kalau itu jelas keluar dari pembahasan kita kali ini. memangnya tak ada ungkapan lain ya?” Elisa merajuk sambil menyandarkan dagunya di sandaran kursi. Mirip seorang balita yang tidak dipenuhi keinginannya, tapi terus meminta. Aku tersenyum girang.
“Saya berusaha memenuhi saranmu tadi, yaitu berpikir positif. Jika kau katakan tadi, Bisa kau jelaskan apa saja manfaat kacang ijo, maka sekarang aku menjelaskannya berdasarkan pengalamanku. Kacang ijo itu bermanfaat untuk menyumbat lubang hidung dan telinga…

?!?!?!

Continue Reading...
 

Sabaqaka Ukasyah Copyright © 2009 Girlymagz is Designed by Bie Girl Vector by Ipietoon

Modified by Abu Hamzah for Ukasyah Habiby