3/08/2013

APA DIBALIK HIJABER, JILBABER & KHIMARER ((","))



Serupa tapi tak sama. Mungkin itu kondisi tiga kata berikut; Hijab, jilbab dan khimar. Tak disangka pasti deh, banyak dari kita yang masih kabur memahaminya. Sejatinya ketiga istilah itu beda makna loh. Bahkan Syaikh Al-Albani mengungkapkan banyak pula dari kalangan asatidz yang belum bisa membedakan secara terperinci. Tapi tak masalah, yang penting bagi muslimah tidak boleh buta soal ini. Bukankah itu sandang terdekatnya dalam segala aktivitas maupun gaya hidupnya.

AL-HIJAB

Kata Abu Syuqqah: “sudah jadi tradisi umat, khususnya masyarakat muslim, menganggap pakaian syar’i itu disebut “Hijab”. Sehingga wanita yang mengenakannya mereka sebut hijaber. Padahal hijab itu sesuatu yang menghalangi antara dua pihak, sehingga satu sama lain itu tidak saling melihat. Demikian pula makna hijab pada surat Al-Ahzab: 53
“Dan bila kalian meminta suatu barang dari mereka (ummahatul mu’minin) maka mintalah dari balik tabir.”
Al-Hijab di atas jelas bermakna tabir/pembatas antara majlis laki-laki dan perempuan, baik berujud tirai, tembok, papan, atau sekat. Artinya jika sahabat Rasul saw non mahrom berbicara dengan istri-istri nabi saw, maka harus ada pembatas diantara mereka. So, para lelaki ajnabi itu tidak berkomunikasi dengan ummahatul mu’min secara langsung. Sebagaimana banyak diulas sejarah, bahwa para istri nabi saw tidak boleh keluar jika tak ada keperluan mendesak. Kalaupun keluar, mereka harus menggunakan penutup wajah. Fungsinya itu sebagai pengganti tabir. Olehnya, tabir disini bisa berbentuk dua macam: tabir yang dipasang bisa beruba kain kelambu atau papan, dsb. Yang kedua, tabir yang ditutupkan diwajah. Bisa cadar, celemek, sapu tangan, gombal atau buku mungkin.

Hal itu diperkuat dengan adanya bunyi ayat lanjutan: “cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”. Nash itu menunjukkan bahwa bertanya di balik tabir itu lebih aman dan sebagai aksi antisipasi dari berbagai penyakit hati. (terlalu cantik kali yak, mpe melongo).

Nah, seandainya yang dimaksud Al-Hijab itu kain yang menutup seluruh tubuh wanita dengan jilbab, maka jadinya hanya berfungsi menghalangi laki-laki memandang perempuan, dan tidak menghalangi wanita memandang lelaki. Padahal pada ayat tersebut jelas ada hubungan timbal balik disana.


Ada juga nih, dalil lain dari sejarah resepsi Nabi Muhammad saw dengan Zainab binti Jahsyi. Para sahabat diundang. Pada saat resepsi sudah selesai, para tamu beranjak pulang. Akan tetapi ada beberapa sahabat masih keasyikan ngobrol ngalor ngidul tak pasti. Rasulullah saw merasa rikuh untuk mengusir mereka, tapi tetap merasa terganggu. Diusir, tak enak. Dibiarkan, tak peka sekitar. Beliau hanya mondar mandir dan keluar masuk tak jelas. Zainab binti jahsyi sendiri sudah mulai tak nyaman, dia hanya memalingkan wajahnya ke arah dinding saja.

Kemudian Allah menurunkan ayat hijab. Saat itupun rasulullah saw segera mengeraikan tirai pemisah antara zainab dengan para tamu. Para tamu pun mulai tak nyaman dan membaca situasi untuk sadar diri. mereka pun bangkit, mohon pamit. (Uh, nggak dari tadih!)

Dengan demikian, jika hijab berarti menutup seluruh tubuh, mengapa zainab harus memalingkan wajah segala? Jika wajahnya tersingkap tanpa cadar, tentu rasulullah saw menyuruh untuk menutupinya tanpa repot mengeraikan tirai kan?
Hmm, asal tahu aja ya, ayat hijab itu wajib berlaku untuk istri-istri rasulullah saw. meski hanya diwajibkan untuk mereka semata, tak ada ruginya jika itu diteladani muslimah pada umumnya.


AL-KHIMAR

Orang indonesia mengistilahkannya kerudung. Ayat tentang khimar ini ada pada surat An-Nur: 31
“Dan katakan pada mu’minat,... hendaknya mereka menjuraikan kerudung-kerudung mereka di atas dada mereka.”



Sebelum ayat ini turun, para perempuan di zaman itu pada umumnya menjuraikan kerudung mereka ke arah belakang (punggung). Sehingga dada, leher, jalinan rambut dan daun telinga mereka tampak vulgar begitu saja. Bahkan mereka juga terbiasa mengenakan pakaian dengan belahan dada rendah. Hal itu disebutkan dalam kitab ibnu katsir, fenomena seperti itu membuat Asma’ binti Martsad merasa risih, padahal dia sendiri seorang wanita.

“Buruk amat pemandangan ini,” keluhnya suatu kali, saat perkumpulan ibu-ibu PKK (hehe...) di kelurahan bani Tsaqifah. (mang udah ada kelurahan yak?).

Nah, akhirnya turun ayat ini yang mengulas segenap muslimat (baik yang merdeka maupun budak) untuk menggeraikan kerudung mereka ke arah depan.
Artinya: BATAS MINIMAL PANJANG KERUDUNG ITU TERJURAI HINGGA MENUTUPI DADA. TAK BOLEH DIKURANGI, KALAU DITAMBAH BOLEH


AL-JILBAB

Istilah ini tak asing buat masyarakat kita, khususnya Indonesia. Sekalipun rata-rata muslimat masyarakat kita tak mengenakannya, tapi begitu kata itu disebut, semua pasti tahu dan paham apa itu jilbab. Populer sangat!
Namun, perspektif mereka dengan Al-Qur;an dan sunnah boleh dibilang kurang pas alias berbeda. (surat Al Ahzab: 59)
Jilbab merupakan pakaian yang dikenakan oleh wanita muslimah di atas pakaian biasa dan kerudung. Jadi ukuran jilbab itu lebih besar dan lebar dari kerudung. Jilbab dikenakan ketika keluar rumah, sedang khimar dikenakan di rumah, baik ketika bertemu dengan lelaki ajanib atau tidak. Hal itu terjadi di kalangan muslimat era rasulullah saw. (Ah, yang bener?!)
1.    Dari Suba’iyah Al Aslamiyyah: ...ketika aku sudah bersuci dari nifas aku berhias untuk para peminang, maka Abu Sanabil datang menemuiku untuk menegurku. “Tampaknya kamu bersolek supaya ada yang tertarik padamu, lalu meminangmu ya? Demi Allah, itu nggak boleh, kecuali kalau sudah melewati masa 4 bulan 10 hari lohh...” (emang khuruj? :p). Mendengar itu aku pun bergegas merangkapkan pakaianku dengan jilbab, lalu keluar menemui rasulullah saw [sebagaimana diriwayatkan imam Bukhary-kitab Maghazy dam Muslim Kitab thalaq].
2.    Dari Fathimah binti Qais: Suamiku, Abu Amr bepergian jauh, lalu dia mengutus iyash bin Abi Rabi’ah untuk mengabariku bahwa ia menthalaqku, seraya mengirim 5 sha’ kurma dan gandum sebagai tunjangan. Lalu aku menanyakan padanya “Apa tidak ada nafkah selain ini? kan aku nggak melewati masa iddah di rumahnya?” aku pun dijawab: tidak. Lalu aku ikatkan pakaianku dan keluar menemui rasulullah saw. [imam Muslim-Kitab thalaq]
Dari 2 riwayat itu minimal kita tahu sekarang, subai’ah mengenakan pakaian penutup aurat pada saat menemui Abu Sanabil di rumahnya. Kemudian ketika menemui rasulullah saw, dia merangkapkan pakaiannya dengan jilbab. Hal itu juga terjadi pada fathimah binti qais, ketika bertemu dengan iyash, dia mengenakan pakaian biasa dan merangkapnya ketika keluar dari rumah.

Lalu bagaimana prakteknya sekarang ini, apakah mengenakan jilbab itu tetap diwajibkan?
Hm, melihat latar belakang terjadinya adat seperti itu, adalah pada zaman rasul saw, rangkap khimar dan jilbab berfungsi untuk membedakan antara wanita kalangan budak dan orang merdeka. Sebab, bagi lelaki hidung belang, keisengan mengganggu wanita tak bisa dihindari. Sejak zaman baheula. Dengan adanya perbedaan itu sebagai antisipasi agar tidak digodain atau disuitin.

Kalau di zaman seperti ini, tidak berlaku lagi perbudakan. Memang. Akan tetapi hasil keteladanan adalah tetap dianjurkan. Bukan lagi hal yang wajib.

So, selagi syarat-syarat menutup aurat sudah sesuai syari’at, tak mengapa tanpa merangkap pula. Asal tidak transparan saja.

0 komentar:

 

Sabaqaka Ukasyah Copyright © 2009 Girlymagz is Designed by Bie Girl Vector by Ipietoon

Modified by Abu Hamzah for Ukasyah Habiby