&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&
Pada suatu kesempatan setiba waktu shalat, dan posisi
masih di jalan, aku mampir di suatu masjid untuk memenuhi panggilan ilahi. Masjid
yang ku kunjungi merupakan masjid besar yang begitu indah. Arsitekturnya mirip mahakarya
para arsitek timur tengah. Mungkin pula masjid-masjid di timur tengah sana
menjadi referensi mereka. Gaya ukiran kaligrafi menghiasi tiap dinding
lebarnya, menciptakan khas arabian nan bernuansa masjid nabawi. Setiap
pancangan tiangnya mencapai 5 meter, menjulang dibalut hiasan tulisan arab
terukir. Nyaris semua dipenuhi kaligrafi. Sungguh indah dan megah.
Dan terpenting nilai suatu masjid adalah standar kebersihan kamar mandinya. Jika kamar mandinya bersih, tentu masjid itu bersih dan layak jual. Ya, layak kompetisi jual beli pada Allah Ta’ala. Kamar mandi bersih, rapi serta nyaman, karena fasilitasnya sesuai standar wanita muslimah yang memperhatikan kebersihan dan keamanan auratnya.
Dan terpenting nilai suatu masjid adalah standar kebersihan kamar mandinya. Jika kamar mandinya bersih, tentu masjid itu bersih dan layak jual. Ya, layak kompetisi jual beli pada Allah Ta’ala. Kamar mandi bersih, rapi serta nyaman, karena fasilitasnya sesuai standar wanita muslimah yang memperhatikan kebersihan dan keamanan auratnya.
Saya suka dan bahagia mendapati masjid seperti itu.
selalu yang terbetik di benak saya acap kali mengunjungi masjid yang nyaman, adalah sepanjat
do’a terindah untuk penghuni dan pemakmur masjidnya, terutama ta’mir masjidnya
itu.
“Semoga amalannya ikhlash karena Allah dan istiqamah
selalu hingga akhir hayatnya.”
Aamiin. hatinya pasti ganteng! ^_^
Namun, kali ini saya mulai ditegur agar tidak mudah berbangga
dengan segala keindahan dan kemegahan suatu kemasan. Bukan hendak meragukan ta’mir
masjidnya, akan tetapi terkait rasa keprihatinan terhadap para pemilik masjid
ini. Jika dikatakan bahwa masjid adalah milik umat Islam, maka yang hadir
disana adalah umat Islam, terutama yang hendak bermadu kasih, bercengkrama,
berkeluh kesah, dan menghiba pada pemeliharanya.
Tentu umat Islam yang memeluk agama sesuai Islam itu
sendiri. Bukan orang non-Islam yang melaksanakan agama Islam. Bukan pula, Orang
Islam yang menjalani ajaran Kristen.
Memangnya ada apa sih?
Begini saudara,
Aku mendapati seorang muslimah, jilbabnya lebar. Sebuah aksesoris
dan identitas bahwa mau tak mau orang akan menilainya sebagai muslimah taat. Dan
juga banyak mengenal agamanya. Tentu mau tak mau saya pun menilai begitu. Dia pasti orang keren yang paham akan agamanya. Tak kalahnya pula dia manis. Duh, saya aja berdesir kagum dibuatnya.
Saat itu dia hendak berwudhu’. Aku persilakan dia mendahuluiku. Sementara aku mengantri kamar mandi, tanpa sengaja aku memperhatikan segala gerakan gadis itu. mulai dari cara dia mengawali wudhu’, cuci tangan, berkumur-kumur hingga membasuh mukanya. Namun aku sedikit bingung ketika dia tiba-tiba menduliti ubun-ubunnya. Ku pikir dia sekedar membersihkan atau merapikan ujung rambutnya. Akan tetapi, lagi-lagi itu dilakukan tiga kali, bahkan mungkin lebih. Setelah itu, dia mencuci kedua tangannya berulang kali tanpa mempedulikan ujung sikunya. Yang dia lakukan adalah mencuci tangannya sambil menggosok-gosokkan saja. Lebih tepatnya cukup sebatas lengan tangannya saja.
Setelah itu membasuh muka entah berapa kali. Belum selesai ku terkaget-kaget seperti itu, tiba-tiba dia mengucurkan sedikit air ke arah daun telinganya berulang kali.
Alamak! Dia bermaksud membasuh telinga?
Saat itu dia hendak berwudhu’. Aku persilakan dia mendahuluiku. Sementara aku mengantri kamar mandi, tanpa sengaja aku memperhatikan segala gerakan gadis itu. mulai dari cara dia mengawali wudhu’, cuci tangan, berkumur-kumur hingga membasuh mukanya. Namun aku sedikit bingung ketika dia tiba-tiba menduliti ubun-ubunnya. Ku pikir dia sekedar membersihkan atau merapikan ujung rambutnya. Akan tetapi, lagi-lagi itu dilakukan tiga kali, bahkan mungkin lebih. Setelah itu, dia mencuci kedua tangannya berulang kali tanpa mempedulikan ujung sikunya. Yang dia lakukan adalah mencuci tangannya sambil menggosok-gosokkan saja. Lebih tepatnya cukup sebatas lengan tangannya saja.
Setelah itu membasuh muka entah berapa kali. Belum selesai ku terkaget-kaget seperti itu, tiba-tiba dia mengucurkan sedikit air ke arah daun telinganya berulang kali.
Alamak! Dia bermaksud membasuh telinga?
Aku terpana dibuatnya. Tak habis pikir dengan hal ini.
Usai itu sebuah adegan untuk mengakhiri serangkaian ritual berbasah-basah ria “wudhu”
tadi, adalah mencuci kaki. Lebih mirip gaya petani yang mencuci kaki karena
terkena belepotan tanah sawah.
Aku melongo tak mampu berkata. Apakah dia tidak tahu tata cara berwudhu yang baik dan benar?
Ah, ya sudahlah! aku jadi masygul sendiri.
Aku melongo tak mampu berkata. Apakah dia tidak tahu tata cara berwudhu yang baik dan benar?
Ah, ya sudahlah! aku jadi masygul sendiri.
Saat itu aku hanya bisa termangu dan prihatin. Bagaimana
dengan shalatnya? Bukankah wudhu seseorang itu menjadi penentu pula bagi shalat
seseorang? Tiba-tiba aku merasa nelangsa sendiri. Teringat kisah yang dialami
ayahku, ketika pernah suatu kali mengajar remaja setara usia SLTA. Dari sekitar
200-an murid, hanya 10 yang bisa wudhu dengan baik dan benar. Dari 10 menyusut
menjadi 6 anak yang bisa membaca bacaan shalat dengan baik dan benar. Dan hanya
2 anak yang bisa menjalani uji shalat secara baik dan benar secara sempurna.
Astaghfirullah!
Yang berjilbab lebar begini saja belum bisa memahami
seutuhnya tentang nilai-nilai berwudhu’, bagaimana dengan yang tidak berminat
dengan ajaran Islam itu sendiri? Haduh, aku jadi merinding sendiri.
Nah sekarang, bagaimana sikapku yang baik dan benar
ketika mendapati kasus kecil seperti gadis muslimah manis tadi? Mau menegur, repotnya
dibilang menggurui. Tidak menegur, tekanan batin dan moral sungguh menghantui. Aku
hanya bisa meratapi kelemahanku ini. Sebuah realita bangsa yang lebih bangga
dengan pengetahuannya tentang teknologi tapi tidak paham nilai-nilai ajaran
agamanya sendiri. Lebih bangga mengenal fesbuk, tweet, dan sebangsanya
dibanding kekuatan agamanya. Lebih bangga kenal artis daripada wudhu’ yang jadi
kebutuhannya sendiri. Malah terkadang latah akan bunyi-bunyi suara mayoritas,
tapi tak tahu apa hakikat bunyian itu.
Seandainya kamu jadi aku, apa tindakan bijak yang sebaiknya
akan kamu lakukan, saudara?
&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&*&
0 komentar:
Posting Komentar