Aku rindu ibu, maka ku bergegas pergi ke rumahnya. lebih tepatnya peninggalannya dulu. disanalah ku injakkan kaki pada ubin yang menyimpan ragam kenangan masa silam. Ada aku, ibu dan adikku. Rumah ibu kini kososng. Tak ada yang menempatinya, selain hanya diriuhkan pipitan burung2 parkit. Sedianya burung-burung itu dibuatkan kandang disana, untuk menjadi investasi kakak, juga memanfaatkan lahan kosong. Aku tergugu bisu.
Ibuku sayang... ibuku malang...
Rumah ini menjadi saksi akan masa-masa sulit ibu, sekaligus memendam nilai sejarah tersendiri. Sejarah berkisah, rumah ibu awalnya adalah sebuah paviliun dari rumah kuno yang sangat besar. Rumah-rumah jaman dulu memang memiliki ciri khas baik dari segi arsitektur maupun suasananya. rumah induk yang disisinya dibangun rumah lain. Sementara mbah kakung tinggal di rumah induk. Sepeninggal mbah kakung, rumah itu pun diwariskan kepada putra-putrinya, termasuk ibuku.
Rumah ini menjadi saksi akan masa-masa sulit ibu, sekaligus memendam nilai sejarah tersendiri. Sejarah berkisah, rumah ibu awalnya adalah sebuah paviliun dari rumah kuno yang sangat besar. Rumah-rumah jaman dulu memang memiliki ciri khas baik dari segi arsitektur maupun suasananya. rumah induk yang disisinya dibangun rumah lain. Sementara mbah kakung tinggal di rumah induk. Sepeninggal mbah kakung, rumah itu pun diwariskan kepada putra-putrinya, termasuk ibuku.
Kebetulan rumah ibu berdampingan dengan kebun luas milik seorang teman ibu. Seorang perempuan arab totok yang baik hati. Dan ibu dipercaya untuk memanfaatkan lahan luas itu. disanalah ibu mendirikan kios jualan sekaligus bercocok tanam.
Banyak pohon yang mengenalkanku pada alam. Ada pohon mengkudu, pisang, pepaya, sirsak, mangga, srikaya, jambu biji dan jambu air. Ada pula selain tanaman buah, yang membuat nama ibu sedikit terkenal, yaitu pohon kluwih. Kluwih itu mirip dengan sukun. Tapi buah daging dan kulitnya lebih mirip nangka. Biasa diolah menjadi sayur lodeh bersantan. Hm.. benar-benar gurih dan nikmat.
Pohon itu sangat besar dan tinggi. Buahnya sangat banyak, jadi ibu sengaja membagikan pada tetangga maupun teman sejawat. Darinya pula, aku dan adikku disebut orang-orang sebagai si anak kluwih. Terutama orang-orang kampung yang agak iri dengan ibuku. Dari sekian pohon-pohon yang tumbuh, satu menjadi favoritku. Pohon jambu air. Setiap batangnya memang layak dipanjat. Apalagi jika sudah mencapai puncak, rasanya memiliki ruang privasi di atas dunia. Berasa memiliki bilik di awan.
Aku sering merasakan perasaan merdeka disana. Kemudian, aku dan adikku berkhayal memiliki rumah pohon seperti yang ada di negri dongeng. Ah, lucu benar... Sesekali kami berteriak bebas ketika angin berhembus kencang. Kami menikmati sensasi ayunan, sekaligus khawatir jika sewaktu-waktu dahan patah. Semangat keriangan itu selalu berakhir pada teriakan ibu menegur kami. kami pun terkikik gembira. Ah, ibu...
Pohon jambu air sering berbuah. Aku dan adikku sering berebut untuk memanennya. Aku selalu menjadi yang pertama untuk memanjatnya. Kebetulan adikku memang suka memanjat tapi sering mengalami ketakutan. Aku suka ekspresi ketakutannya, yang itu membuka peluang untuk digoda. Dia tak kalah gesit memanjat, tapi sering berakhir dengan rasa ngeri untuk turun. Kalau sudah begitu, aku tertawa terbahak-bahak karena geli.
Uniknya, itu membuatnya turut geli dan mengurangi rasa ngerinya. Kembali kami berderai saling menertawakan. Pernah pula, adikku memanjat pohon jambu air dan mengulang kengeriannya lagi di saat hendak turun. Aku pun geli dan menertawakannya lagi. Saat itu dia marah dan melemparkan jambu ke arahku. Sambil cemberut, dia memberanikan diri untuk turun.
Aku pun ganti memanjat pohon itu. untuk kali ini, aku mengalami kengerian seperti yang dialami adikku. mungkin itu yang disebut karma ya? Aku pun teriak-teriak, ganti adikku menertawakanku. Akhirnya, kalau sudah begini, ibu tak urung turun tangan untuk menengahi kami. ya karena aku ngambek dan tak mau dibantu adikku.
Ibu juga suka memasak sambel goreng pepaya. Itu favorit adikku. Pohon pepaya di kebun sangat banyak, bahkan dominan seperti pohon pisang. Ibu mengolahnya sesuai seleranya. Pepaya yang setengah matang, cocok untuk sayur sambel goreng. Biasanya sayur ini paling pas dengan nasi gurih (liwet). Tapi kalau ibu sudah capek, terpaksa kami menikmatinya dengan nasi biasa. Meski begitu, kami tetap menikmatinya, di bawah naungan pepohonan di sekitar rumah. serasa wisata kuliner dengan party garden. Alami. Pepaya yang relatif sudah matang tapi masih agak keras, biasa dibuat manisan. Ibu mengolahnya sebagai camilan sore kami. ya... itu semua terkait dengan kebun.
Sejenak ku terpaku pada jendela rumah. Dulu jendela ini sangat berharga bagi kami. aku dan adikku. Bentuknya kotak persegi seperti pada umumnya jendela. Memiliki dua bagian simetris, berdaun pintu empat. Spesialnya, sebagai tempat strategis untuk nangkring. Sekedar menikmati matahari sore atau makan. Berkhayal dan menceritakan impian masing-masing. Kami juga nangkring sambil menikmati suasana di halaman depan yang terbentang. Sesekali kami teriak sekedar meramaikan suasana. Ibu pun mengomel sekedar berkomentar. kami pun tertawa. Tak jarang aku dan adikku bertengkar. Apa saja bisa jadi bahan pertengkaran kami. aku juga suka usil menjaili adikku itu. kalau sudah begitu, adikku pasti “bernyanyi”
“Aaa... Aaa!” teriakan khas luapan jengkel.
Ibu kadang bersabar dalam diam. Sesekali menegurku bahkan memarahiku.
“Kamu biasa digoda mas-masmu, juga teriak-teriak gitu lho, Nduk. Mbok adik’e ra digodani wae toh.”
Jika sudah begitu, adikku memasang tampang puas karena dibela. Atau sekali waktu, dia nyengir puas sambil menjulurkan lidahnya padaku. Aku pun konyol, kembali ku goda lagi dia. Sudah pasti dia teriak lagi mencari pembelaan. Karena sudah berulang kali begitu, tentu ibu semakin capek nasihatnya tidak didengarkan. Ditambah pula pekerjaan rumah yang belum usai. Ibu pun mendatangiku dan setengah membentak,
“pergilah sana ke mbak Mar. Beli karak seribu!”
Aku pun bangkit dengan semangat karena itu camilan favoritku. Aku kembali membawa karak yang ibu pesankan. Dan aku sudah menduga, karak itu untukku. Aku memang suka karak sambel atau kecap. Karak itu menjadi obat penangkal keusilanku. Kalau sudah begitu, aku segera nangkring di jendela sambil menikmati karak. Maka dunia kecil ibu kembali tenang dari suara ‘ngak-ngek’adikku. Ibu pun tenang.
“Ya, itu untukmu. Makanlah sana, kamu suka kan.”
Ahaha, ibuku lucu... [to be continued]
0 komentar:
Posting Komentar