"Mengapa kamu belum menikah?"
Beberapa waktu lalu, ada seorang teman yang menanyakan kepada saya tentang hal itu. sejenak saya tertegun dengan pertanyaannya yang aneh itu. Sepintas saya menoleh ke arahnya dan memeriksa makna di balik ungkapannya itu, melalui sinar yang bersumber dari bola matanya, maka saya tahu apa yang harus saya jawab.
"Takdir," jawab saya singkat.
pertanyaan aneh yang tak layak untuk saya tanggapi serius. saya pikir itu pertanyaan aneh. Akan lain jika pertanyaan itu sedikit diperbaiki redaksinya. tapi, biarlah pertanyaan itu tak perlu diperpanjang pembahasannya.
"iya, semua tak lepas dari takdir. tapi cobalah intropeksi diri!"
Ha?! intropeksi diri. Memangnya intropeksi diri hanya untuk orang yang belum menikah? sejujurnya saya tertawa mendengar hal itu.Ada selip jengah, meski baik untuk ditolerir barang sebentar. Kalau dipikir-pikir tak ada salahnya jika sedikit membuka diri. Toh, pada dasarnya memang tidak menutup diri. Tampaknya ungkapan itu sengaja memprovokasi saya.
Teman saya tadi tak mau menyerah. Pandangan yang awalnya tadi saya kemas beradu dalam respon yang baik, kini berlanjut pada acuh tak acuh. kemudian dia mengejar dan memaksa dialog berlanjut.
"Kau tahu, pertanyaanmu tadi sungguh konyol."
nada gemas meluncur begitu saja, sengaja saya tampakkan. agar dia tahu bahwa saya tak suka caranya.
"justru konyol itulah harus kau jawab...", serunya lepas tak mau kalah.
saya memandangnya tak mengerti, sambil lalu saya pun tertawa. saya pikir dia bakal malas membahas lebih lanjut tema yang saya rasa tidak penting itu. Kenyataannya dugaan saya salah, malah dia semakin penasaran dengan cercaan pertanyaan demi pertanyaan.
terus terang saya salut dengan kepribadiannya. Teman saya memang sangat perhatian dan pengertian. tak kalah hebat, dia pantang menyerah. sayangnya, kali ini karakternya tidak pas untuk porsi saya.
Ibu muda dari seorang putra yang masih berumur 10 bulan itu telah berhasil membidani minimal 4 pasang dari jasa biro jodohnya, yang telah dia tekuni sejak sebelum menikah. Sejatinya saya bisa paham, saya menjadi target keberhasilannya yang hendak diulangnya.
"Saya belum siap." Kataku singkat.
"Boleh juga alasanmu. tapi, kesiapan apa yang kau maksud itu? Kamu perempuan."
Weleh, memangnya ada apa dengan perempuan. Saya jadi timbul prasangka yang tidak-tidak. Bukan hanya laki-laki saja yang tidak siap, perempuan pun demikian.
"Masih banyak yang harus saya selesaikan." Balasku lagi.
"Maaf, ya. Pada dasarnya kamu bukannya tidak siap, tapi lebih tepat disebut Pengecut!"
Blaar!
Seketika kedua bola mata saya terbelalak kaget. Punggung saya serasa digampar palu godam dari belakang tanpa kesiapan mental sama sekali. Tersinggung ada, tapi saya tidak layak mengabaikan ucapan itu begitu saja. sebuah tindakan bijak adalah saya mencerna dulu makna dibalik ungkapan itu. Pelan tapi pasti saya memberikan peluang pada diri sendiri untuk memahami.
"Kok bisa?"
Secercah senyum simpul mengisyaratkan keberhasilan dalam provokasinya. Saya tahu dia senang. Sesungging senyum keberhasilan nangkring di kedua ujung bibirnya, itu memberikan peluang bagi saya untuk sama-sama saling membuka komunikasi. Saya pikir tak ada salahnya tukar pendapat, biarpun sempat sedikit bikin jengkel.
Hah?!
kata-katanya cukup menghakimi meski tak menutup kemungkinan ada dasarnya pula. Dengan tenang teman saya menatap kedua bola mata saya mengajak beradu tatap. otomatis itu menjadi pandangan menantang sesuai tafsiran saya. meski begitu, saya diam saja. Sekak kunci mati, yang membuat saya tidak bisa membantah. sebab saya tahu, tema yang diangkat dalam dialog kami adalah tema syari'at. saya khawatir jika membantah, ternyata bantahan saya tadi bercampur dengan emosi. emosi yang menguasai salah-salah bumerang di kemudian hari. takdir saya yang jadi korban.
Terlebih saya menyadari seutuhnya bahwa yang mengajak omong adalah orang yang telah menikah. Orang menikah rata-rata pikirannya lebih matang dari orang yang belum menikah.
"Kamu boleh telaah ulang apa yang saya katakan tadi. Jangan tergesa-gesa mementahkannya. Ok, saya selalu setia menanti tanggapanmu tentang ini. Udah dulu ya, saya harus pulang."
Dia berlalu meninggalkan saya sendiri dalam perang hati yang tengah berkecamuk.
Diam-diam jauh di lubuk hati saya yang paling dalam terselip pengakuan. Ya, mungkin ada benarnya saya pengecut... tapi, perlu sedikit koreksi bahwa...
"Saya takut jika kasih sayang ayah saya tidak lagi ada pada orang yang menggantikan posisinya..."
Huhu...
**Cerita ini fiktif belaka. Jika ada kesamaan rasa, pendapat dan kondisi semoga menjadi sumber kebaikan dan tidak keburukan. Ini terinspirasi dari diskusi cekikik saya dengan tetangga sebelah yang ingin mendapat penanganan jasa biro jodoh efek dari pengalaman pembidanan keponakan saya...hehe, piss ya Kawan
Beberapa waktu lalu, ada seorang teman yang menanyakan kepada saya tentang hal itu. sejenak saya tertegun dengan pertanyaannya yang aneh itu. Sepintas saya menoleh ke arahnya dan memeriksa makna di balik ungkapannya itu, melalui sinar yang bersumber dari bola matanya, maka saya tahu apa yang harus saya jawab.
"Takdir," jawab saya singkat.
pertanyaan aneh yang tak layak untuk saya tanggapi serius. saya pikir itu pertanyaan aneh. Akan lain jika pertanyaan itu sedikit diperbaiki redaksinya. tapi, biarlah pertanyaan itu tak perlu diperpanjang pembahasannya.
"iya, semua tak lepas dari takdir. tapi cobalah intropeksi diri!"
Ha?! intropeksi diri. Memangnya intropeksi diri hanya untuk orang yang belum menikah? sejujurnya saya tertawa mendengar hal itu.Ada selip jengah, meski baik untuk ditolerir barang sebentar. Kalau dipikir-pikir tak ada salahnya jika sedikit membuka diri. Toh, pada dasarnya memang tidak menutup diri. Tampaknya ungkapan itu sengaja memprovokasi saya.
Teman saya tadi tak mau menyerah. Pandangan yang awalnya tadi saya kemas beradu dalam respon yang baik, kini berlanjut pada acuh tak acuh. kemudian dia mengejar dan memaksa dialog berlanjut.
"Kau tahu, pertanyaanmu tadi sungguh konyol."
nada gemas meluncur begitu saja, sengaja saya tampakkan. agar dia tahu bahwa saya tak suka caranya.
"justru konyol itulah harus kau jawab...", serunya lepas tak mau kalah.
mencari secercah jawaban disela-sela gurat kegelisahan |
saya memandangnya tak mengerti, sambil lalu saya pun tertawa. saya pikir dia bakal malas membahas lebih lanjut tema yang saya rasa tidak penting itu. Kenyataannya dugaan saya salah, malah dia semakin penasaran dengan cercaan pertanyaan demi pertanyaan.
terus terang saya salut dengan kepribadiannya. Teman saya memang sangat perhatian dan pengertian. tak kalah hebat, dia pantang menyerah. sayangnya, kali ini karakternya tidak pas untuk porsi saya.
Ibu muda dari seorang putra yang masih berumur 10 bulan itu telah berhasil membidani minimal 4 pasang dari jasa biro jodohnya, yang telah dia tekuni sejak sebelum menikah. Sejatinya saya bisa paham, saya menjadi target keberhasilannya yang hendak diulangnya.
"Saya belum siap." Kataku singkat.
"Boleh juga alasanmu. tapi, kesiapan apa yang kau maksud itu? Kamu perempuan."
Weleh, memangnya ada apa dengan perempuan. Saya jadi timbul prasangka yang tidak-tidak. Bukan hanya laki-laki saja yang tidak siap, perempuan pun demikian.
"Masih banyak yang harus saya selesaikan." Balasku lagi.
"Maaf, ya. Pada dasarnya kamu bukannya tidak siap, tapi lebih tepat disebut Pengecut!"
Blaar!
Seketika kedua bola mata saya terbelalak kaget. Punggung saya serasa digampar palu godam dari belakang tanpa kesiapan mental sama sekali. Tersinggung ada, tapi saya tidak layak mengabaikan ucapan itu begitu saja. sebuah tindakan bijak adalah saya mencerna dulu makna dibalik ungkapan itu. Pelan tapi pasti saya memberikan peluang pada diri sendiri untuk memahami.
"Kok bisa?"
Secercah senyum simpul mengisyaratkan keberhasilan dalam provokasinya. Saya tahu dia senang. Sesungging senyum keberhasilan nangkring di kedua ujung bibirnya, itu memberikan peluang bagi saya untuk sama-sama saling membuka komunikasi. Saya pikir tak ada salahnya tukar pendapat, biarpun sempat sedikit bikin jengkel.
"Tiga hal yang sangat mungkin sekali. Kamu takut terikat, takut tanggung jawab, atau terlalu banyak maksiat."
Hah?!
kata-katanya cukup menghakimi meski tak menutup kemungkinan ada dasarnya pula. Dengan tenang teman saya menatap kedua bola mata saya mengajak beradu tatap. otomatis itu menjadi pandangan menantang sesuai tafsiran saya. meski begitu, saya diam saja. Sekak kunci mati, yang membuat saya tidak bisa membantah. sebab saya tahu, tema yang diangkat dalam dialog kami adalah tema syari'at. saya khawatir jika membantah, ternyata bantahan saya tadi bercampur dengan emosi. emosi yang menguasai salah-salah bumerang di kemudian hari. takdir saya yang jadi korban.
Terlebih saya menyadari seutuhnya bahwa yang mengajak omong adalah orang yang telah menikah. Orang menikah rata-rata pikirannya lebih matang dari orang yang belum menikah.
"Kamu boleh telaah ulang apa yang saya katakan tadi. Jangan tergesa-gesa mementahkannya. Ok, saya selalu setia menanti tanggapanmu tentang ini. Udah dulu ya, saya harus pulang."
Dia berlalu meninggalkan saya sendiri dalam perang hati yang tengah berkecamuk.
Diam-diam jauh di lubuk hati saya yang paling dalam terselip pengakuan. Ya, mungkin ada benarnya saya pengecut... tapi, perlu sedikit koreksi bahwa...
"Saya takut jika kasih sayang ayah saya tidak lagi ada pada orang yang menggantikan posisinya..."
Huhu...
di balik punggung sosok penanggung |
**Cerita ini fiktif belaka. Jika ada kesamaan rasa, pendapat dan kondisi semoga menjadi sumber kebaikan dan tidak keburukan. Ini terinspirasi dari diskusi cekikik saya dengan tetangga sebelah yang ingin mendapat penanganan jasa biro jodoh efek dari pengalaman pembidanan keponakan saya...hehe, piss ya Kawan
0 komentar:
Posting Komentar