1/24/2012

Interaksi Santun dengan Tetangga


bismillah

((Sembahlah Allah dan jangan persekutukan Dia dengan sesuatu apapun. Berbuat baiklah kepada kedua orangtua, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan budak kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan berbangga diri. Q.S An-Nisa’ : 37 ))

U’budu itu artian secara globalnya adalah menyembah. Kata Menyembah meliputi pengabdian, keseriusan dan kesetiaan yang tiada terbatas. Menyembah Allah beriring dengan larangan untuk menyekutukanNya, yaitu Laa tusyriku.  Sedangkan menyekutukan itu adalah memprioritaskan sesuatu lebih di atas prioritas kepada Allah Ta’ala. Padahal sudah menjadi kepastian pada sebuah efek domino, Orang yang menyembah Allah, berarti dia tidak menyekutukanNya. Ketika seorang hamba menyekutukanNya pasti tidak menyembahNya. Ini kaidah mendasar dalam hubungan antara hamba dengan pemeliharanya.
Wabil walidayni ihsaana disebut pertama kali usai penyebutan pengabdian kepada Allah Ta’ala. Kalimat itu menjadi awal pembuka dalam hubungan antar sesama. Pada hakikatnya, diakui atau tidak, hak orangtua itu memang utama dari segenap hak manusia yang lain. Itu sudah menjadi prinsip yang tidak bisa disangkal maupun diganggu gugat. Sedang yang memiliki hubungan paling dekat setelah orangtua adalah Dzil Qurba. Artian harfiahnya adalah yang memiliki ikatan kekerabatan atau hubungan darah.
Kemudian kata wal jari dzil qurba itu tetangga dekat rumah kita atau yang memiliki hubungan kekerabatan. Bahkan ada yang berpendapat dzil qurba ini ditekankan pada keislamannya, yaitu kedekatan emosional antara saudara seaqidah melebihi kedekatan dengan saudara kandung. Sebab keislaman seseorang itu bisa mengalahkan hak saudara sedarah yang non-muslim. Kerabat meliputi kakek-nenek, paman-bibi, saudara, sepupu dan yang ada hubungan nasab, baik yang dia menjadi tetangga kita, tetangga RT, tetangga RW maupun lebih dari itu.
Disebutkan pula kata wal jaril junubi yaitu tetangga yang tidak ada hubungan pertalian darah, kebalikan dari wal jari dzil qurba, baik itu yang bertetangga dengan kita adalah teman baik, teman biasa, muslim, kafir, atau pun fasik. Namun, bisa pula berarti tetangga yang jauh rumahnya dengan kita atau disebut tetangga kampung. Biasanya dimulai dengan kira-kira usai batas 40 rumah dari segala arah.
Wash shahibi bil janbi itu meliputi istri, teman yang menyertai safar, atau siapapun yang menjadi partner serta kolega kita. Baik itu berpartner dalam ta’lim, bisnis, komunitas dan berbagai kepentingan lainnya yang bersifat saling melengkapi dalam kebaikan.
Selanjutnya, diperintahkan pula untuk berbuat baik pula terhadap anak yatim dan orang-orang miskin. Anak yatim adalah anak-anak yang ditinggal mati orangtuanya baik ayah, ibu atau ayahibunya sekaligus, sedang umurnya belum mencapai masa baligh. Kalau orang miskin adalah orang yang memiliki mata pencaharian akan tetapi masih jauh untuk mencukupi kebutuhannya. Sebuah pelajaran indah, jika kita ingin hati kita dilembutkan oleh Allah Ta’ala, ada baiknya kita memperbanyak mengunjungi dan menyantuni strata kaum ini. Terutama anak yatim, dianjurkan untuk membelai kepalanya. Mungkin disanalah dia akan merasakan kelembutan dan kenyamanan, kemudian mendoakan kebaikan.
Adapun Ibnu Sabil secara harfiah adalah anak jalanan, akan tetapi maksudnya adalah musafir yang kehabisan bekal. Orang musafir jauh dari kampung halamannya dan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya, itu ditambah kehabisan bekal. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaannya. Sangat membutuhkan uluran tangan dan belas kasih.
Maa malakat aymanukum itu tanggungan kalian, yang dimaksud adalah budak. Budak itu hidupnya tergantung majikannya dan tidak bisa menjalani hidupnya secara bebas karena adanya ikatan majikannya tersebut. Pada dirinya sendiri tidak mampu berkehendak apalagi pada orang lain. Bisa dibayangkan pula, jika majikannya jahat dan semena-mena, tentu habis riwayatnya dengan segala kesengsaraannya. Namun, Allah justru membukakan pintu jannah melalui cara yang berlawanan dari karakter manusia yang semena-mena itu.
Diantara kata mukhtal (sombong) dan fakhura (bangga) ada satu penekanan karakter sama yaitu merasa dirinya lebih. Penyebutan kedua kata dalam satu kesempatan ini bukanlah sia-sia. Jika kita mengupas secara detail, kata mukhtal itu lebih bersifat pribadi dan tidak banyak pihak yang terlibat. Sementara fakhura itu lebih dekat pada istilah prestice atau gengsi, yang kebanggaan dirinya itu menuntut bahwa dirinya selayaknya untuk dipuji dan dihormati. Biasanya dapat dilihat dari sikap dan cara bicaranya.

Sikap dan Etika Seseorang Adalah Pantulan Iman
Surat An-Nisa’: 37 itu mengisyaratkan kepada kita akan suatu pesan mendalam, yaitu adab dan akhlak. Bagian dari keimanan kepada Allah adalah ketika seseorang berakhlak yang baik dan memuliakan hak-hak individu meski terkadang merelakan hak dirinya tidak dipenuhi. Orang beriman hanya berpikir bagaimana dalam kehidupannya ini selalu mengamalkan segala titah Allah dan berusaha menguasai dirinya dari kemunkaran. Dia menyadari sepenuhnya, bahwa jika dia menyakiti orang lain berarti dia telah mengurangi hak-hak orang tsb.
Ketika dia disakiti selagi tidak fatal, meski boleh membalas orang yang menyakitinya tsb. dia memilih untuk diam dan mendoa kepada Allah. Atau jika perlu membalas, dia hanya membalas sewajarnya saja, tidak berlebihan. Namun, dia juga tidak tinggal diam jika ada orang lain disakiti. Dia pasti akan membela, karena membantu sesama yang hak-haknya dikurangi merupakan bagian dari berbuat baik sesuai perintah Allah Ta’ala. Imbang dalam segala kondisi dan sikap.
Sekarangpun aku tak pernah tahu apa yang dimaksudkan ketagihan atom niswara itu. kemungkinan masih banyak yang mengonsumsi barang-barang tak jelas itu. besok lagi, aku akan menanyakannya pada bapak atau mbak yang sudah berpengalaman di bidang ini semua. Mantapkan saja, mungkin sudah jadi barang bawaan yang tak pernah laku.
 Dalam memenuhi hak sesama pun ada aturan mainnya. Tidak asal saja, pada setiap orang dipenuhi haknya pada satu waktu. Khususnya pada orangtua sebagaimana ayat di atas disebutkan urutan sebagai dalil skala prioritasnya. Setiap porsi hak-hak itu berbeda-beda. Tentu yang lebih utama adalah orangtua, orang yang paling berperan dalam keberlangsungan hidup seseorang. Bahkan hak suaranya melebihi panggilan perang dan jihad fi sabilillah.
Kemudian kerabat, karena kerabatlah yang biasa paling memahami dan mengetahui pribadi seseorang. Yang banyak terjadi, mungkin karena ada kesamaan karakter dan harapan. Terlebih pula hubungan darah itu tidak bisa dihilangkan dengan surat bermaterai. Sebagaimana kita tahu, hubungan darah adalah hubungan waris mewarisi, sedang waris mewarisi itu dalam Islam tidak bisa diputuskan layaknya memotong tali rafia maupun tambang.
Selanjutnya berlanjut pada anak yatim dan orang miskin. Hal itu mengondisikan pula, jika ternyata anak yatim dan orang miskin itu adalah kerabat sendiri. Banyak kasus terjadi, anak yatim ditelantarkan oleh keluarga besarnya karena dinilai sebagai parasit. Atau disantuni tapi tidak seindah kata santunan yang didengar, karena ada maksud-maksud lain yang terselubung semisal agar dianggap orang dermawan, orang yang baik hati dan suka menolong, dsb. Demikian pula pada orang miskin.
Bahkan lebih dari itu, Allah mengajarkan pada hambaNya akan kema’rufan sekaligus memenuhi hak-hak individu tadi, yang individu tadi ternyata merangkap sebagai anak yatim yang miskin, sekaligus menjadi tetangga pula. Besar haknya untuk sekedar disantuni tapi juga hak untuk dilindungi dan diperhatikan pendidikannya.
Bukan semata Allah mengajarkan saja, sebab dibalik penekanan ajaran itu sendiri justru banyak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan. Menyakiti kerabat sendiri sudah tak asing lagi. Apalagi anak yatim yang miskin pula. Alih-alih menyakiti mereka, menelantarkan dan tidak memanfaatkan mereka lebih baik. Begitu mungkin mereka berpikir, yaitu pikiran orang-orang yang merasa sombong dan bangga diri telah menajdi orang kaya dan mampu berbuat apa saja. Padahal justru disaat itulah rengkuhan jannah membukakan peluang untuk mudah mendapatkannya. Kalau bukan karena lillahi Ta’ala, sungguh betapa sulitnya itu dilakukan.

Tetangga Salah Satu Pintu Surga
Pengabdian itu menuntut kemurniannya dari segala kesyirikan. Pengabdian kepada Allah tidak hanya disimbolkan pada ibadah ritual semata. Seperti sholat, zakat, puasa, dzikir, dan haji. Apalagi dalam perkara yang Allah perintahkan ini telah diabadikan di dalam kalamNya, yaitu dalam bergaul antar sesama dengan cara baik (Q.S An-Nisa’: 37). Seorang hamba mendapat haknya untuk dikasihi oleh Allah ketika mereka juga memenuhi hak-hak sesamanya. Sebab, suatu hal yang aneh pada saat dia menuntut dituruti keinginannya tapi dirinya sendiri tidak memenuhi hak orang lain.
Demikianlah aturan itu memerintahkan untuk berbuat baik pada tetangga sebagai manifestasi pemenuhan hak-hak sesama. Sebagaimana, patuh dan hormat terhadap orangtua serta tidak menyakiti perasaan mereka. Kerabat serta sanak saudara, terutama paman dan bibi. Begitu pula tetangga.
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhary Muslim). Hak tetangga tidak main-main tuntutannya, pertaruhannya adalah keimanan seseorang. Hak-hak tetangga antara lain, mendapatkan fasilitas doa kebaikan kita, salam, jika mengundang suatu acara kita memenuhinya, jika sakit maka menjenguknya, jika mengalami musibah kematian maka mengurusi jenazah dan melayatnya, suka duka kita menyertai kebersamaan mereka, tidak banyak turut campur urusan mereka selagi tidak dimintai bantuan, tidak menggunjing mereka dan wajib dijaga harga diri dan martabatnya. Apalagi jika ternyata mereka adalah tetangga samping rumah yang merangkap sebagai kerabat dan muslim pula.
Bahkan menjaga kenyamanan mereka sangat dituntut hingga sekecil apapun itu. contohnya, ketika seseorang akan membangun rumah pribadi di atas tanah pribadi pula. Dia harus mempertimbangkan apakah bangunan itu akan memberi dampak negatif pada tetangganya atau tidak, seperti adakah nantinya mengganggu fentilasinya, merusak sisi bangungannya, atau bahkan menutup akses jalan utamanya. Atau yang lainnya, yaitu memasak suatu masakan yang aromanya sedap menyebar kemana-mana. Bisa diperkirakan jika bau itu tercium pasti siapapun akan mengkhayal untuk menikmatinya. Bahkan islam sendiri memerintahkan, ketika seseorang memasak dan aroma sedapnya tercium ke tetangga, maka hendaknya sudi berbagi masakan tersebut.
Lalu bagaimana tahu bahwa tetangganya turut menikmati aroma sedap masakan kita? Kita adalah hamba Allah yang dikaruniai akal. Dari akal ini kita bisa menalar dan berpikir dalam segala hal. Salah satunya memperkirakan apa dan bagaimana tentang tetangga kita. Kita bisa menganalogikannya secara berbalik, jika suatu hari kita pernah mencium bau sedap masakannya, berarti demikian pula dengan mereka. Sederhana sebetulnya, meski begitu akan menjadi lebih baik ketika kita tanpa susah-susah berpikir apakah tetangga mencium bau masakan kita atau tidak. Sejurus tanpa dimintai terlebih dahulu kita sudah siap untuk memberi.  
Ada juga yang menjelaskan Urgensi beramah tamah dengan Tetangga itu setingkat dengan ahli waris. Sebagaimana yang dituturkan oleh Aisyah r.a dari Nabi saw bersabda: “Jibril terus menerus mewasiatiku berkenaan tentang tetangga, sampai-sampai aku menyangka bakal menjadi bagian dari ahli waris.” (HR. Bukhary). Hanya saja, bila ahli waris itu berhak mendapatkan kelemahlembutan sekaligus harta peninggalan kita, maka tetangga itu menduduki posisi berhak mendapatkan kebaikan serta pelestarian ikatan yang baik. sebab, tetangga itu orang yang pertama kali menolong, memperhatikan dan mengetahui kondisi kita. Apalagi jika ternyata tetangga itu merangkap sebagai saudara/kerabat bahkan muslim pula.
Maka dari sinilah hakikat keadilan dan kasih sayang itu tumbuh dan berkembang. Jika kita memang menyukai kedamaian dan kenyamanan hidup rukun dan bahagia, maka memulainya dari yang kecil dan dari lingkungan di sekitar kita. Wallahu a’alam



0 komentar:

 

Sabaqaka Ukasyah Copyright © 2009 Girlymagz is Designed by Bie Girl Vector by Ipietoon

Modified by Abu Hamzah for Ukasyah Habiby