bismillah
((Sembahlah Allah dan jangan persekutukan Dia
dengan sesuatu apapun. Berbuat baiklah kepada kedua orangtua, kerabat, anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu
sabil, dan budak kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong
dan berbangga diri. Q.S An-Nisa’ : 37 ))
U’budu itu artian secara
globalnya adalah menyembah. Kata Menyembah meliputi pengabdian, keseriusan dan
kesetiaan yang tiada terbatas. Menyembah Allah beriring dengan larangan untuk
menyekutukanNya, yaitu Laa tusyriku. Sedangkan menyekutukan itu adalah
memprioritaskan sesuatu lebih di atas prioritas kepada Allah Ta’ala. Padahal
sudah menjadi kepastian pada sebuah efek domino, Orang yang menyembah Allah,
berarti dia tidak menyekutukanNya. Ketika seorang hamba menyekutukanNya pasti
tidak menyembahNya. Ini kaidah mendasar dalam hubungan antara hamba dengan
pemeliharanya.
Wabil walidayni
ihsaana disebut pertama kali usai penyebutan pengabdian kepada Allah Ta’ala.
Kalimat itu menjadi awal pembuka dalam hubungan antar sesama. Pada hakikatnya,
diakui atau tidak, hak orangtua itu memang utama dari segenap hak manusia yang
lain. Itu sudah menjadi prinsip yang tidak bisa disangkal maupun diganggu
gugat. Sedang yang memiliki hubungan paling dekat setelah orangtua adalah Dzil
Qurba. Artian harfiahnya adalah yang memiliki ikatan kekerabatan atau
hubungan darah.
Kemudian kata wal
jari dzil qurba itu tetangga dekat rumah kita atau yang memiliki hubungan kekerabatan.
Bahkan ada yang berpendapat dzil qurba ini ditekankan pada keislamannya,
yaitu kedekatan emosional antara saudara seaqidah melebihi kedekatan dengan
saudara kandung. Sebab keislaman seseorang itu bisa mengalahkan hak saudara
sedarah yang non-muslim. Kerabat meliputi kakek-nenek, paman-bibi, saudara,
sepupu dan yang ada hubungan nasab, baik yang dia menjadi tetangga kita,
tetangga RT, tetangga RW maupun lebih dari itu.
Disebutkan pula
kata wal jaril junubi yaitu tetangga yang tidak ada hubungan pertalian
darah, kebalikan dari wal jari dzil qurba, baik itu yang bertetangga dengan
kita adalah teman baik, teman biasa, muslim, kafir, atau pun fasik. Namun, bisa
pula berarti tetangga yang jauh rumahnya dengan kita atau disebut tetangga
kampung. Biasanya dimulai dengan kira-kira usai batas 40 rumah dari segala
arah.
Wash shahibi bil
janbi itu meliputi istri, teman yang menyertai safar, atau siapapun yang menjadi
partner serta kolega kita. Baik itu berpartner dalam ta’lim, bisnis, komunitas
dan berbagai kepentingan lainnya yang bersifat saling melengkapi dalam
kebaikan.
Selanjutnya, diperintahkan
pula untuk berbuat baik pula terhadap anak yatim dan orang-orang miskin. Anak
yatim adalah anak-anak yang ditinggal mati orangtuanya baik ayah, ibu atau
ayahibunya sekaligus, sedang umurnya belum mencapai masa baligh. Kalau orang
miskin adalah orang yang memiliki mata pencaharian akan tetapi masih jauh untuk
mencukupi kebutuhannya. Sebuah pelajaran indah, jika kita ingin hati
kita dilembutkan oleh Allah Ta’ala, ada baiknya kita memperbanyak mengunjungi
dan menyantuni strata kaum ini. Terutama anak yatim, dianjurkan untuk membelai
kepalanya. Mungkin disanalah dia akan merasakan kelembutan dan kenyamanan,
kemudian mendoakan kebaikan.
Adapun Ibnu
Sabil secara harfiah adalah anak jalanan, akan tetapi maksudnya adalah
musafir yang kehabisan bekal. Orang musafir jauh dari kampung halamannya dan
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya, itu ditambah kehabisan bekal.
Bisa dibayangkan bagaimana penderitaannya. Sangat membutuhkan uluran tangan dan
belas kasih.
Maa malakat
aymanukum itu tanggungan kalian, yang dimaksud adalah budak. Budak itu hidupnya
tergantung majikannya dan tidak bisa menjalani hidupnya secara bebas karena
adanya ikatan majikannya tersebut. Pada dirinya sendiri tidak mampu berkehendak
apalagi pada orang lain. Bisa dibayangkan pula, jika majikannya jahat dan
semena-mena, tentu habis riwayatnya dengan segala kesengsaraannya. Namun, Allah
justru membukakan pintu jannah melalui cara yang berlawanan dari karakter
manusia yang semena-mena itu.
Diantara kata mukhtal
(sombong) dan fakhura (bangga) ada satu penekanan karakter sama yaitu
merasa dirinya lebih. Penyebutan kedua kata dalam satu kesempatan ini bukanlah
sia-sia. Jika kita mengupas secara detail, kata mukhtal itu lebih bersifat
pribadi dan tidak banyak pihak yang terlibat. Sementara fakhura itu lebih dekat
pada istilah prestice atau gengsi, yang kebanggaan dirinya itu menuntut bahwa
dirinya selayaknya untuk dipuji dan dihormati. Biasanya dapat dilihat dari
sikap dan cara bicaranya.
Sikap dan Etika Seseorang
Adalah Pantulan Iman
Surat An-Nisa’: 37
itu mengisyaratkan kepada kita akan suatu pesan mendalam, yaitu adab dan
akhlak. Bagian dari keimanan kepada Allah adalah ketika seseorang berakhlak
yang baik dan memuliakan hak-hak individu meski terkadang merelakan hak dirinya
tidak dipenuhi. Orang beriman hanya berpikir bagaimana dalam kehidupannya ini
selalu mengamalkan segala titah Allah dan berusaha menguasai dirinya dari
kemunkaran. Dia menyadari sepenuhnya, bahwa jika dia menyakiti orang lain
berarti dia telah mengurangi hak-hak orang tsb.
Ketika dia
disakiti selagi tidak fatal, meski boleh membalas orang yang menyakitinya tsb.
dia memilih untuk diam dan mendoa kepada Allah. Atau jika perlu membalas, dia
hanya membalas sewajarnya saja, tidak berlebihan. Namun, dia juga tidak tinggal
diam jika ada orang lain disakiti. Dia pasti akan membela, karena membantu sesama
yang hak-haknya dikurangi merupakan bagian dari berbuat baik sesuai perintah
Allah Ta’ala. Imbang dalam segala kondisi dan sikap.
Sekarangpun aku
tak pernah tahu apa yang dimaksudkan ketagihan atom niswara itu. kemungkinan
masih banyak yang mengonsumsi barang-barang tak jelas itu. besok lagi, aku akan
menanyakannya pada bapak atau mbak yang sudah berpengalaman di bidang ini
semua. Mantapkan saja, mungkin sudah jadi barang bawaan yang tak pernah laku.
Dalam memenuhi hak sesama pun ada aturan
mainnya. Tidak asal saja, pada setiap orang dipenuhi haknya pada satu waktu.
Khususnya pada orangtua sebagaimana ayat di atas disebutkan urutan sebagai
dalil skala prioritasnya. Setiap porsi hak-hak itu berbeda-beda. Tentu yang
lebih utama adalah orangtua, orang yang paling berperan dalam keberlangsungan
hidup seseorang. Bahkan hak suaranya melebihi panggilan perang dan jihad fi
sabilillah.
Kemudian kerabat,
karena kerabatlah yang biasa paling memahami dan mengetahui pribadi seseorang. Yang
banyak terjadi, mungkin karena ada kesamaan karakter dan harapan. Terlebih pula
hubungan darah itu tidak bisa dihilangkan dengan surat bermaterai. Sebagaimana
kita tahu, hubungan darah adalah hubungan waris mewarisi, sedang waris mewarisi
itu dalam Islam tidak bisa diputuskan layaknya memotong tali rafia maupun
tambang.
Selanjutnya
berlanjut pada anak yatim dan orang miskin. Hal itu mengondisikan pula, jika
ternyata anak yatim dan orang miskin itu adalah kerabat sendiri. Banyak kasus
terjadi, anak yatim ditelantarkan oleh keluarga besarnya karena dinilai sebagai
parasit. Atau disantuni tapi tidak seindah kata santunan yang didengar, karena
ada maksud-maksud lain yang terselubung semisal agar dianggap orang dermawan,
orang yang baik hati dan suka menolong, dsb. Demikian pula pada orang miskin.
Bahkan lebih dari
itu, Allah mengajarkan pada hambaNya akan kema’rufan sekaligus memenuhi hak-hak
individu tadi, yang individu tadi ternyata merangkap sebagai anak yatim yang
miskin, sekaligus menjadi tetangga pula. Besar haknya untuk sekedar disantuni
tapi juga hak untuk dilindungi dan diperhatikan pendidikannya.
Bukan semata Allah
mengajarkan saja, sebab dibalik penekanan ajaran itu sendiri justru banyak
terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan. Menyakiti kerabat sendiri sudah tak
asing lagi. Apalagi anak yatim yang miskin pula. Alih-alih menyakiti mereka,
menelantarkan dan tidak memanfaatkan mereka lebih baik. Begitu mungkin mereka
berpikir, yaitu pikiran orang-orang yang merasa sombong dan bangga diri telah
menajdi orang kaya dan mampu berbuat apa saja. Padahal justru disaat itulah
rengkuhan jannah membukakan peluang untuk mudah mendapatkannya. Kalau bukan
karena lillahi Ta’ala, sungguh betapa sulitnya itu dilakukan.
Tetangga Salah
Satu Pintu Surga
Pengabdian itu
menuntut kemurniannya dari segala kesyirikan. Pengabdian kepada Allah tidak
hanya disimbolkan pada ibadah ritual semata. Seperti sholat, zakat, puasa,
dzikir, dan haji. Apalagi dalam perkara yang Allah perintahkan ini telah
diabadikan di dalam kalamNya, yaitu dalam bergaul antar sesama dengan cara baik
(Q.S An-Nisa’: 37). Seorang hamba mendapat haknya untuk dikasihi oleh Allah
ketika mereka juga memenuhi hak-hak sesamanya. Sebab, suatu hal yang aneh pada
saat dia menuntut dituruti keinginannya tapi dirinya sendiri tidak memenuhi hak
orang lain.
Demikianlah aturan
itu memerintahkan untuk berbuat baik pada tetangga sebagai manifestasi
pemenuhan hak-hak sesama. Sebagaimana, patuh dan hormat terhadap orangtua serta
tidak menyakiti perasaan mereka. Kerabat serta sanak saudara, terutama paman
dan bibi. Begitu pula tetangga.
Rasulullah saw
bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah
dia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhary Muslim). Hak tetangga tidak main-main
tuntutannya, pertaruhannya adalah keimanan seseorang. Hak-hak tetangga antara
lain, mendapatkan fasilitas doa kebaikan kita, salam, jika mengundang suatu
acara kita memenuhinya, jika sakit maka menjenguknya, jika mengalami musibah
kematian maka mengurusi jenazah dan melayatnya, suka duka kita menyertai
kebersamaan mereka, tidak banyak turut campur urusan mereka selagi tidak
dimintai bantuan, tidak menggunjing mereka dan wajib dijaga harga diri dan
martabatnya. Apalagi jika ternyata mereka adalah tetangga samping rumah yang
merangkap sebagai kerabat dan muslim pula.
Bahkan menjaga
kenyamanan mereka sangat dituntut hingga sekecil apapun itu. contohnya, ketika
seseorang akan membangun rumah pribadi di atas tanah pribadi pula. Dia harus
mempertimbangkan apakah bangunan itu akan memberi dampak negatif pada
tetangganya atau tidak, seperti adakah nantinya mengganggu fentilasinya,
merusak sisi bangungannya, atau bahkan menutup akses jalan utamanya. Atau yang
lainnya, yaitu memasak suatu masakan yang aromanya sedap menyebar kemana-mana.
Bisa diperkirakan jika bau itu tercium pasti siapapun akan mengkhayal untuk menikmatinya.
Bahkan islam sendiri memerintahkan, ketika seseorang memasak dan aroma sedapnya
tercium ke tetangga, maka hendaknya sudi berbagi masakan tersebut.
Lalu bagaimana
tahu bahwa tetangganya turut menikmati aroma sedap masakan kita? Kita adalah
hamba Allah yang dikaruniai akal. Dari akal ini kita bisa menalar dan berpikir
dalam segala hal. Salah satunya memperkirakan apa dan bagaimana tentang
tetangga kita. Kita bisa menganalogikannya secara berbalik, jika suatu hari
kita pernah mencium bau sedap masakannya, berarti demikian pula dengan mereka.
Sederhana sebetulnya, meski begitu akan menjadi lebih baik ketika kita tanpa
susah-susah berpikir apakah tetangga mencium bau masakan kita atau tidak.
Sejurus tanpa dimintai terlebih dahulu kita sudah siap untuk memberi.
Ada juga yang
menjelaskan Urgensi beramah tamah dengan Tetangga itu setingkat dengan ahli
waris. Sebagaimana yang dituturkan oleh Aisyah r.a dari Nabi saw bersabda:
“Jibril terus menerus mewasiatiku berkenaan tentang tetangga, sampai-sampai aku
menyangka bakal menjadi bagian dari ahli waris.” (HR. Bukhary). Hanya saja,
bila ahli waris itu berhak mendapatkan kelemahlembutan sekaligus harta
peninggalan kita, maka tetangga itu menduduki posisi berhak mendapatkan
kebaikan serta pelestarian ikatan yang baik. sebab, tetangga itu orang yang
pertama kali menolong, memperhatikan dan mengetahui kondisi kita. Apalagi jika
ternyata tetangga itu merangkap sebagai saudara/kerabat bahkan muslim pula.
Maka dari sinilah
hakikat keadilan dan kasih sayang itu tumbuh dan berkembang. Jika kita memang
menyukai kedamaian dan kenyamanan hidup rukun dan bahagia, maka memulainya dari
yang kecil dan dari lingkungan di sekitar kita. Wallahu a’alam
0 komentar:
Posting Komentar