Dibalik pagar ayah berdiri dan tersengal. Gemuruh perasaannya menderu. Dadanya naik turun mengatur alur napas yang menjejak. Peluh membanjiri bagian atas gamisnya. Sepucuk senapan angin di tangan kiri. Aku sendiri tersentak tak berdaya, sementara di sudut halaman rumah, Nala tergeletak bersimbah darah. ”oh, ayah...” pekikku tertahan.
Sesaat ayah memandangku, entah kemelut apa dalam benaknya. Hanya saja, sorot mata kemenangannya menjejaliku sebuah peringatan. ”jangan coba-coba lagi memelihara kucing di rumah ini”
Tanpa ku minta ayah mengulurkan tangannya ke arahku, mengajak masuk karena ayah hendak menutup pintu. Udara malam seolah menertawakan kekecewaanku.
”ayah telah melakukan tindak kriminal”
”tak ada kriminal untuk kesehatan orang lain.”
”meski dengan merampas hak hidup makhluk lain?”
”itu bukan merampas, tapi menghambat penyebaran virus”
”...nala juga menghambat penyebaran virus, bahkan lebih... virus yang dibawa tikus-tikus. Tikus-tikus itu pula yang menghabisi lembaran2 manuskrip dan kitab2 ayah.”
”malam semakin larut. Masuklah, Nak.”
”taqiya di luar saja, kasihan nala”
”ayah katakan masuk!” kali ini ayah membentakku. Aku makin nelangsa. Kakiku berat untuk melangkah, tapi tatapan ayah sungguh marah. Aku pun berlari ke arah ibu yang baru saja muncul begitu menyadari ada keributan kecil di teras rumah. Menangis! Ibu memelukku sembari menggiring perlahan ke ruang tengah, menenangkan. Ayah pun menutup pintu. Sementara saudara-saudaraku hanya menatap pasrah.
Ini yang kesekian kalinya, aku berselisih dengan ayah perkara kucing. Ayah sangat membenci kucing. Dulu ketika aku dan saudara2ku masih usia kanak2, ayah masih membiarkanku memelihara kucing meski tidak diijinkan untuk masuk rumah. akan tetapi sejak kakak mengalami gangguan meningitis, yaitu gangguan disebabkan oleh virus yang biasanya bersumber dari binatang berbulu semisal kucing, ayah semakin matang membenci kucing. Sama sekali. Ayah sangat terpukul, karena virus itu nyaris kakakku divonis tak mungkin memiliki keturunan. Pada dasarnya bukan semata-mata bersumber dari kucing, bisa juga kelinci, monyet,dsb. Hanya saja, kucinglah yang didapati lebih banyak bersahabat dengan manusia, maka dari itu, ayah lebih fokus pada kucing..
Berulang kali aku menyalahi, berulang kali pula ayah mengusir kucing-kucing yang hadir. Tak segan pula ayah menendang mereka. Tiap kali aku memprotes tindakan anarkisnya, selalu jawabannya sama ”biar kapok!”. kemudian sambil lalu, tak peduli kecamuk perasaanku.
Ayah meletakkan senapan itu di dinding. Kipas angin yang menggantung dinyalakan, lalu duduk di ’kursi kebesaran’nya.
”apa yang kau tangisi?” tanya ayah menantang, sedikit dibumbui nada gurau.
”ayah...” ibu menegur sikap ayah.
”ayah arogan...!” serangku seketika. Air mataku masih menggenang di perairan sudut mata dan menganak sungai di muara pipiku.
”kita ini yang realistis. Ayah lakukan selama ini untuk kebaikan dirimu sendiri. Dimana salah ayah?” tatapan marah ayah kali ini tak ada, berganti tatapan apa adanya. Aku tahu itu wujud kasih sayang beliau. Tapi haruskah dengan cara seperti itu?
”sikap anarkis ayah. Sekaligus arogan...”
”hehe,,, anak kita bicara organ, Bu.” ayah terkekeh. Secangkir teh panas diminumnya usai komat kamit bismillah. Aku makin nggerundel, merutuki kejengkelanku yang tak dianggap.
”bukankah selama ini ayah sudah cukup banyak toleransi pada kalian semua. Sejak kalian belum ada, ayah sudah tidak setuju dengan kucing...yaa,, meski ayah bukanlah anjing. Tapi benar-benar ayah tidak cocok klu kucing berdekatan dengan wanita. Kamu sendiri juga tahu kan bahwa org-org di luar juga tidak suka. Hehe... kucing garong!”
Ayah dan ibu terpingkal-pingkal. Keduanya saling berpandangan dan ayah pun melempar kedipan mata kanannya genit. Iih, ayah! Rasa nggondokku sedikit tercairkan, meski tak seluruhnya. Gengsi rasanya untuk gabung tertawa, meski jujurku turut geli dgn istilah yang beliau pakai.
”toh, taqiya tidak mengajak kucing tidur bareng...” bantahku sekenanya. Ayahpun terkekeh hebat.
”justru itu, malah makin kangen kan...ayahpun makin memiliki alasan untuk memisahkan kalian...bhahaha....”
Aku mengernyitkan dahi tak paham.
”maksd ayah?”
”semakin ayah mentolerir kedekatan kalian dengan para kucing itu, takutnya kalian makin dekat dgn kucing beneran...”
Ayah semakin tak keruan arah pembicaraannya. Ambigu! Tanpa merasa berdosa sama sekali mengucapkan kalimat2 tak jelas itu. Ibu hanya mesem sembari mendekatkan pisang goreng untuk ayah. Ayah memungut satu dengan garpu.
”kamu sudah gedhe. Selayaknya kamu bisa menimbang lebih jauh, mana yang penting, lebih penting dan yang tidak penting. Seberapa penting dan bermanfaat memelihara seperti itu? Pertama: virus yg dibawa si kucing. Ayah ngeman rahimmu sebagaimana ayah ngeman dari kucing garong itu benar-benar merampas rahim dalam artian yg sesungguhnya. Rahim itu lambang kesucian wanita.”
Jreess!!! kira-kira begitu gambaran perasaanku mendengar ucapan ayah. Menusuk dan munghujam hingga hatiku terjerembab.... terjerembab di atas lembutnya taman bunga. Sebegitu jauh beliau memperhatikan kami.
Ibu melirikku sesaat, wajahnya mulai ikut serius. Ibu lebih banyak diam karena memang merasa tidak berhak angkat bicara. Ibu pun tidak banyak melarang seperti halnya ayah, karena ibu sendiri sejatinya suka kucing. Bedanya beliau lebih merasa bertanggung jawab untuk lebih mentaati titah ayah. Tak jarang pula ibu mengingatkanku dan saudara2 yang lain. Tapi, memang dasarnya aku yang bandel...
”kedua: dari segi ekonomi. Uang yang kamu belanjakan hanya untuk sekedar menggemukkan si kucing, mending ditabung, atau untuk anak yatim piatu, atau bisa juga kamu bagi-bagikan pengemis... atau sekalian belikan kambing dan kamu ternak... itu lebih menguntungkan.”
Kali ini aku benar-benar tersudutkan. Dorongan untuk mencari alasan menghentak2 benakku demi mendapat pembelaan. Sayang, tetap saja nihil!!!
”ketiga...” ayah semakin bersemangat berorasi, aku pun bingung sendiri. Ujung jilbab terpilin kecil, hasil permainan tanganku yang mungil. Ih, konyol...
”waktumu yang terbuang untuk ngelus-ngelus kucing kan lebih baik ngelus kitab...” sesungging senyum kemenangan kembali menelanjangiku tanpa ampun. Hm, seharusnya tidak bisa dibiarkan sikap ayah yang berlebihan itu. Apa sepantasnya senapan turut bicara? Yup... itu mungkin alasan yang cukup rasional.
”hmm,,, meski harus mengorbankan sebuah nyawa, Ayah?” tanyaku mencuri kesempatan dalam jeda orasinya. Untuk bbrp saat beliau terdiam. Garpu yang sedari tadi ongkang2 di tangan kanannya diletakkan. Kunyahan yang tersisa, dilumatkan.
”hmm...” Glek. Tertelan sudah... ayah mulai ancang-ancang untuk kembali berorasi.
”bukan dengan mengorbankan... tapi memberi pelajaran. Coba kamu sedari dulu mau mendengarkan kata-kata ayah. Kan tidak perlu ada pertumpahan darah.”
”bukankah islam itu rahmatan lil ’alamien...?” bantahanku kini mulai serampangan. Aku sadar betul dengan apa yang aku ucapkan, hanya saja egoku mungkin bisa bermanfaat untukku dan saudara2ku. Yeaah, perwakilan suara dari negara tetangga... :P
Ibu mengernyitkan dahi, memandangku tak habis mengerti. ”apa to, Nduk... kok sampai situ segala???” ibu tak tahan juga ternyata. Hatiku terpingkal sembari gulung2, mungkin.
Ayah sendiri tetap tenang dalam kunyahan lanjutan. Lirikan penuh arti menyentil sikapku yang masih dikuasai ego. Bbrp menit kami terperangkap keheningan, tiba-tiba ayah tertawa.
”betul...betul...betul...”
Ibu dan aku terbelalak kosong. Kami saling berpandangan, mengukir jawaban masing-masing.
”taqiya...besok klu ada perampok bilang ja...pak perampok jangan dirampok dong rumah taqiya. Ntar taqiya mau ditaruh dimana? Mau tinggal dimana? Kan kasihan, taqiya...begitu kan? Mang ada perampok atau maling permisi dulu,,,pringisi kalee...”
Ucapan ayah menyindir kata-kataku tadi. Ayah berlagak seperti layaknya anak kecil yang tengah merajuk orgtuanya. Bibirku manyun bbrp senti. Ibu tersenyum dikulum.
”sudah to, Ayah ini... ayo, Nduk. Masuk kamar sana” ibu menengahi kami. Pundakku ditepuk pelan, kayuhan untuk beranjak dari dudukku. Aku tak berkata apa-apa, hanya melakukan suruhan ibu dengan tapak sedikit menghentak kesal. Ibu mengikuti langkah di belakangku, menginggalkan ayah sejenak.
Setelah beberapa meter kira-kira ayah tak mendengar, ibu membisikkan sesuatu di telingaku.
“bicara dengan orangtua tidak bisa disamakan dengan teman sendiri, Nduk. Apalagi klu orgtua itu berjiwa besar. Segalanya harus mendasar dan tidak asal. Wong jawa ora jawani. Meski aturan jawa, tapi itu tetap bagian dari akhlaqul karimah to... kayak anak kecil ja. sudah sana, cukup itu untuk jadikan pelajaran.”
Usai membisikkan kata-kata lembut itu, ibu beringsut pergi meninggalkanku sendiri. Perlahan ku tutup pintu kamar dan bergegas ke arah jendela.... bagaimana dengan Nala?
@@@
Hari ahad, tak biasanya aku harus berkejaran dengan deadline dari yayasan. Pagi-pagi benar, ku harus keluar kandang. Baru beberapa langkah aku mendekati gerbang, seekor kucing kecil mengeong lembut. Pandangannya memburu bayangan. Hatiku kembali meleleh saat meongan itu terus melantunkan suara lembut... kucing abg lagi.
Aku membungkuk perlahan. Tanganku terulur panjang, menawarkan kenyamanan. Si kucing memandangku penuh selidik. Apakah diriku org baik, mungkin bgt pikirnya. Ah, ada2 saja. Tanganku tergerak dalam liukan bak penari srimpi. Ku pikir itu cara baik untuk mengecohkan kesigapannya. Paling tidak untuk meyakinkan bahwa aku serius menawarkan kenyamanan sekaligus keamanan. Si kucing mulai sedikit memberikan kepercayaan. Hmm,,, perasaanku mulai menyatu. Sayang, waktu tak mau tahu naik turun emosiku. Aku harus segera hengkang dari tempat ini. Maafkan aku, Cing...
Tugas utama ke kantor pusat, antarkan beberapa laporan nilai bulanan. Selain itu, ada naskah teman-teman ’kongkow’ yang semestinya sudah ku masukkan ke si ’Edit R.’
Saingan berat Ebit G dua hari yang lalu, tapi baru hari ini bisa ku antar. Kemudian, pulang untuk sarapan pagi... :D
Ibu dan adik masih berkutat dengan prewed eh, prefuthur yang semi siap saji. Ku tawarkan bala bantuan sekedar basa basi. Hehe,,, ibu hanya tersenyum.
”katanya sibuk menumpuk... udah, selesaikan dulu tugasmu.”
”bener nih, ibu gak papa...mama ja ya...” isengku kumat.
”meoooongg.....”
Belum lengkap perbincanganku dengan ibu, tiba-tiba suara kucing dari arah yang kami tak tahu asalnya menyentak kesibukan dapur. Otomatis kami saling pandang dan mencari arah sumber suara. Cemas-cemas mengingatkan pada sikap ayah, aku segera cabut dari dapur, sebelum ayah yang bertindak. Ku pastikan bahwa sumber suara berasal dari kamarku. Waduuhh,,, perang bharatayudha jangan sampai terjadi lagi.
”pussii...meoong!” panggilku memancing. Muncullah seekor kucing manis abg dengan sapuan bulu coklat keemasan. Aiih,,,masya aJJI...
Rasa rinduku pasca pemakaman nala terobati barang semenit dua menit. Selanjutnya ku giring kucing itu keluar rumah, aku pun bergegas kembali masuk, seolah tak terjadi apa-apa.
Pukul 09.00 pagi, Car Free Day sudah selesai. Aku memustuskan pergi dengan kendaraan untuk menghemat waktu. Mengambil pesanan abaya dan minyak goreng. Sebagai tips sekalian mumpung keluar aku mampir ke rumah tmn. Main. Pukul 13.00 aku pulang.
Begitu sampai di rumah, aku langsung masuk kamar dan merebahkan diri karena lelah. Lelah itu saudara kembar siam kantuk. Jadi keduanya tak bisa diganggu gugat keintimannya. Aku pun mengantuk.
”meoong...” belum terkatup seluruh permukaan mataku, meongan lembut itu tak ubahnya sebuah sentakan hebat. Kantukku terbabat habis. Kini rebahan terjungkir jadi bangkit. Yang pasti aku mencari-cari meongan itu.
”pussiii.....meoong....” panggilku tak kalah lembut.
Tiba-tiba si kucing pagi tadi muncul lagi. Kali ini lebih manja. Kakiku yang terjuntai ke arah lantai diendus2, tak peduli bagaimana rasa dan baunya. Seketika itu juga, aku meraih lehernya untuk dielus. Si kucing tak mau kalah mesra, kepalanya semakin ia sodorkan, sedikit diputar2 pada liukan. Kami pun bergumul dalam rindu yang mengharu.
Aku sadar bahwa tak mungkin berlama-lama dengannya. Usai ku beri beberapa kecupan sayang, ku giring kucing itu keluar.
Sore hari, kembali ku harus pergi. Kali ini ke maktabah. Pulang pukul 19.30.
Usai makan malam dan diskusi kecil-kecilan dengan ayah, aku masuk kamar. Persiapan untuk hari senin besok. I love Monday, begitu kata org sukses jaman sekarang...hehe meski weekendku bukan hari minggu (ahad?) tapi faktanya frekuensi tugas paling tinggi hadir di hari senin. Ya, harap maklum jika terkesan sedikit membebek.
Aku duduk di bibir ranjang, menganalisis ulang hasil kerjaku sendiri. Tiba-tiba ku dikejutkan dengan suara lembut itu tadi.
”meoong...” glek. Kerongkonganku tercekat sesaat. Di sudut kamar samping lemari, kucing dgn bulu coklat keemasan itu mengibaskan ujung ekornya, sementara keanggunan duduknya memancar aura bersahabat. Jiaaah...alamak.... pucuk dicinta ulam tiba. Nala tiada dikau hadir di hadapan dinda...Bleeh!
”pussiii....”
Kamipun semakin menyatu. Tanganku terbentang menyambut, si kucing menyeruak kepangkuan. Sentakan kecil kakinya berjingkat-jingkat semangat. Aku tersenyum bahagia. Kepalanya mendongak ke arahku, sembari kaki depan melambai-lambai hendak meraih ujung daguku. Bahasa tubuh yang indah, aku mengamininya dengan lebih membenamkan muka ke pelukan kecil tubuhnya. Tiba-tiba kucing itu memeluk dan menjilati wajahku. Mata, hidung dan pipi. Sedikit gigitan kecil mendarat di pucuk cuping hidungku. Lengkap sudah. Huuaaaaahh... bulu kudukku berdiri seketika. Jijik. Namun, rasa sayang ini tidak mampu menolak, tak tega. Rasa sayang ini masih cukup untuk sekedar bertahan. Aku pun mengajaknya bicara meski tak menjawab, yakinku bahasa tubuhnya tak sia-sia.
”semakin ayah mentolerir kedekatan kalian dengan para kucing itu, takutnya kalian makin dekat dgn kucing beneran...”
Glek! Tiba-tiba beberapa ucapan ayah terngiang di benakku. Kucing beneran yang bisa jadi kucing jadi-jadian?
Perlahan aku memberi jarak pertemuan dua wajah tapi beda species ini. Ku tatap sorot dua mata kucing itu. Tatapan curiga antara iya dan tidak, aku mencari jawaban. Aslikah dikau, Kucing manis? Aku teringat kemunculannya yang tidak bisa ku pastikan kewajarannya, dari mana aksesnya. Hanya saja, tiap kali aku masuk kamar ia lebih dulu stand by di kamarku. Aku berusaha berpikir rasional dan meredam mitos tak jelas. Untuk lebih meyakinkan, ku baca ayat kursi, surat Al Ikhlas, dan mu’awwidzatain.
Hah, dia tak berubah...haha... tak berubah wujud. Ooh, kucing asli deh!!! Lega rasanya. Ku pikir ia kucing rumahan. Kucing jinak nan sopan. Ya, setidaknya sopan santun dalam taraf dunia kucing. Kucing yang terbiasa hidup di jalanan tak mudah percaya pada tiap sapaan orang. Bahkan terlampau garang. Biaskan saja dengan preman.
Aku kembali bergumul riuh hingga tak terasa lembaran2 tugasku terbengkalai. Kucing itu berlarian kesana kemari, mengendus tiap jengkal barang yang ada di ruangan. Mungkin saja, lebih mengenal jauh siapa diriku. Haha...dugaanku. aku biarkan kakinya berlenggangkangkung menginjak-injak tempat tidurku. Yeaah, kenali saja diriku, karena kita memang satu. Terlalu asyik, hingga akhirnya ku dengar suara ayah menggedor pintu kamar. Aku terkesiap tak siap.
”iya, labbaikum, Ayah” jawabku gugup. Aku berusaha menyembunyikan si kucing.
”sudah larut malam. Jangan gaduh, Nduk. Mengganggu tetangga.”
Fiuuh...!!! nyaris saja....
”nggih, Ayah”
Sebelum semuanya berakhir tragis, segera ku keluarkan si kucing. Ingat-ingat pesan ayah...
Si kucing kebingungan tanpa merasa berdosa. Maafkan aku, Cing... bukan berarti aku menolakmu. Tapi benar-benar aku diantara dua pilihan. Antara kau dan ayahku. Pilihannya hanya satu tak mungkin dua. Jika seandainya aku sepertimu maka tentu ku pilih dirimu... tapi karena rasioku jadilah aku memilih ayahku. Selamat malam, Cing...
Si kucing mengeong enggan berpisah. Cakarnya menyangkut di serat kain jilbabku, membuatku kerepotan untuk mengeluarkannya. Ku bisikkan ungkapan sayang di telinganya. Subhanallah, layaknya manusia, ia menikmati tiap untaian kata yang ku bisikkan. Bisikan-bisikan mesra itu tak ubahnya sebuah sugesti untuk meredam perpisahan mendadak. Sungguh tidak baik bagi psikisnya. Bhaha... macam manusia saja.
Perlahan tapi pasti...si kucing mau melepaskan cengkraman kecil cakarnya. Malam menjadi saksi. jendela segera ku rapatkan lagi. Tak terasa buliran bening menetes. Semoga dia temukan majikannya yang asli...