&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
"BERCERMINLAH SEBELUM CERMIN ITU RETAK BERKEPING"
Mobil berhenti di
muka masjid. Ayah, ibu dan saudara-saudaraku turun untuk shalat. Sementara aku
duduk di jok belakang, memperhatikan mereka. Aku tidak shalat jadi tidak turun
ke masjid. Begitu mereka semua sudah turun, pintu mobil ditutup.
JdeeR!
Senyap dan sayup.
Suara benginging kesenyapan terkadang melintas di pendengaran, lalu
hilang. Aku tak melompong dalam diam. Belum pasti enaknya apa yang aku lakukan?
Dari balik kaca
mobil, tampak lalu lalang orang yang hendak mengikuti jama’ah shalat di masjid
itu. Ada yang tenang, ada pula yang setengah tergopoh bahkan lari. Ragam
tingkah mereka, meski satu pikiran, yaitu antusiasme shalat berjama’ah. Terasa
indah. Kebetulan masjid yang aku dan keluarga singgahi itu ada kolam ikannya. Kolam
itu terletak di muka teras masjid, halaman depan. Adikku ‘setengah’ bungsu
duduk manis memperhatikan panaroma eksotis kolam buatan itu.
Jilbab pinknya
berkibar lebar dipermainkan angin. Wajah imutnya menempa tatapan unik, disela
hiasan bibir mungilnya yang merah delima. Sesekali pipi chubbynya bergerak
lembut, bak detak ubur-ubur. Itu karena bersih dan terang yang terpancar dari
kulitnya. Tubuh kecil khas gadis mungil duduk menyempil di ujung kolam. Kini,
dia jelang 1 smp. Mulai beranjak remaja. Padahal rasanya baru saja kemarin aku
menimangnya sebagai bayi, mengejarnya dalam bermain, dan berantem memperebutkan
susu bubuk yang dijadikan bedak.
Ah adikku...
Hei, adikku berapa
umurnya sekarang? Dia anak millenium. Berjarak 14 th denganku. Sejenak ku tersentak dengan umurku sendiri.
Menilik masa silamku berawal terlahir di dunia ini. Kini ku tak muda lagi.
Ternyata aku mulai menua. Terbengong aku pada diriku sendiri. Ya Allah, diusiaku
ini ayah masih sanggup bersabar menanggungku. Aku terlalu kekanak-kanakan.
Rasanya aku baru menginjak umur 20 tahun saja. Tak ada istimewanya. Aku masih
suka melompat-lompat, bercekikik ria, lari sana lari sini, melempar apa saja
yang ingin ku lempar, dan tak terkecuali ndilati aspal.
Aku tak habis
pikir, betapa besar ni’mat Allah berupa ayahku ini. Tanggungan sebagai kepala
keluarga saja, jika dihitung-hitung tak kuat rasanya. Apalagi sebagai seorang
lelaki. Tanggungjawab memimpin anggota keluarganya yang perempuan. Tidak hanya
satu dua pula. 10 perempuan ada di pundaknya. Belum lagi ragam sifat yang musti
ditelateni. Tiba-tiba saja, aku menangis... tak tega
Aku menyadari betapa
aku mencintainya dengan segala keegoisan, dan entahlah dengan keikhlasan. Aku merutuki
diriku, benar-benar memalukan. Beberapa waktu lalu, sebelum agenda safar ke
Lamongan, aku sampaikan pada ayah bahwa aku sangat membutuhkan pendamping safar.
Satu persatu ayah menanyakan saudara lakiku. Ku jawab apa adanya, kendala
kesibukan dan agenda masing-masing. Aku bermaksud mungkin ayah akan memberikan
solusi dengan menunjuk kakakku yang lain.
“Ya, bagaimana
lagi ya,” kata ayah memecah keheningan diantara kami. ujarnya lirih tanpa
solusi harapan.
Aku sendiri tak
mau pula memaksa mereka menyanggupi, tapi aku hanya mengupayakan saja. Toh
usaha itu tetap tidak akan sia-sia. Jadi ku komunikasikan saja apa adanya pada
ayah.
“Hm, ya nanti
kalau memang ada laki-laki shalih yang meminangmu...mehehe,” tukas ayah
terkekeh. Tentu arah pembicaraannya ke arah pernikahan. Ada selip rindu
sekaligus perih. Sejujurnya memang aku masih menikmati kesendirian, meski tak
memungkiri pula adanya sisi kenormalan. Aku mau saja menikah, tentu tanpa
menambah beban bagi suami. Akan tetapi, satu sisi aku takut kehilangan kasih
sayang ayahku. Aku terlalu mencintainya. Dilema ku di persimpangan. Aku takut
kehilangan cinta kasih tulus ini. Ayahku orang yang paling bisa menerimaku,
apapun itu. Aku takut pengganti itu terlalu banyak berharap padaku, sementara
aku terbatas. Tapi juga aku harus berbagi untuk saudaraku. Istilahnya aku harus
gantian. Gantian dalam menerima kasih sayang ayah.
“Ya Allah, ini syari’at, aku tahu. Ini ibadah, aku juga tahu... tapi ini juga terkait pada hati dan perasaan. Aku juga tak tahu... halaaah, embuhlah!”
Lalu apa salah
jika aku bersikap “sak dermo nglakoni”? jika ada biarlah berjalan apa
adanya. Jika tiada ya sudahlah tak perlu dipaksa. Mungkinkah itu pola pikir
yang salah? Apalagi posisiku sebagai perempuan. Perempuan lebih pas menduduki
pos penantian. Nyatanya, memang tidak ada yang berani melewati proses itu (eh,
ada ding! Tapi...). ketika tiba giliran menghadap ayahku, mereka mundur
teratur. Seolah ayahku adalah momok dan monster terjahat di dunia. Padahal,
betapa penyayangnya ayahku, andai mereka mau mengenal lebih dalam. Andai mereka
para pemberani...
Meski begitu, aku
tidak berminat terlalu payah dalam menggapainya. Setiap kondisi memiliki sisi
positif dan negatif. Terbukti, dalam kesendirianku ini, masih banyak yang bisa
ku lakukan sekehendakku. Kesempatan berkarya tidak terbebani tanggungan lain.
Tapi... lagi lagi aku teringat beban tanggungan ayah. Terbayang sosok ayah yang
semakin senja. Rasanya ingin ku bertanya suara hatinya tentangku. Aku yakin,
ayah tak akan malu memiliki anak sepertiku, tapi aku penasaran seberapa berat
ayah menanggungku?
Hanya tuhan yang tahu...???
&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
Ditulis untuk Lomba Suara Perempuan 2013