2/06/2013

Perempuan Berkelambu Senja


&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

"BERCERMINLAH SEBELUM CERMIN ITU RETAK BERKEPING"


Mobil berhenti di muka masjid. Ayah, ibu dan saudara-saudaraku turun untuk shalat. Sementara aku duduk di jok belakang, memperhatikan mereka. Aku tidak shalat jadi tidak turun ke masjid. Begitu mereka semua sudah turun, pintu mobil ditutup.
JdeeR!
Senyap dan sayup. Suara benginging kesenyapan terkadang melintas di pendengaran, lalu hilang. Aku tak melompong dalam diam. Belum pasti enaknya apa yang aku lakukan?
Dari balik kaca mobil, tampak lalu lalang orang yang hendak mengikuti jama’ah shalat di masjid itu. Ada yang tenang, ada pula yang setengah tergopoh bahkan lari. Ragam tingkah mereka, meski satu pikiran, yaitu antusiasme shalat berjama’ah. Terasa indah. Kebetulan masjid yang aku dan keluarga singgahi itu ada kolam ikannya. Kolam itu terletak di muka teras masjid, halaman depan. Adikku ‘setengah’ bungsu duduk manis memperhatikan panaroma eksotis kolam buatan itu.
Jilbab pinknya berkibar lebar dipermainkan angin. Wajah imutnya menempa tatapan unik, disela hiasan bibir mungilnya yang merah delima. Sesekali pipi chubbynya bergerak lembut, bak detak ubur-ubur. Itu karena bersih dan terang yang terpancar dari kulitnya. Tubuh kecil khas gadis mungil duduk menyempil di ujung kolam. Kini, dia jelang 1 smp. Mulai beranjak remaja. Padahal rasanya baru saja kemarin aku menimangnya sebagai bayi, mengejarnya dalam bermain, dan berantem memperebutkan susu bubuk yang dijadikan bedak.
Ah adikku...

Hei, adikku berapa umurnya sekarang? Dia anak millenium. Berjarak 14 th denganku. Sejenak ku tersentak dengan umurku sendiri. Menilik masa silamku berawal terlahir di dunia ini. Kini ku tak muda lagi. Ternyata aku mulai menua. Terbengong aku pada diriku sendiri. Ya Allah, diusiaku ini ayah masih sanggup bersabar menanggungku. Aku terlalu kekanak-kanakan. Rasanya aku baru menginjak umur 20 tahun saja. Tak ada istimewanya. Aku masih suka melompat-lompat, bercekikik ria, lari sana lari sini, melempar apa saja yang ingin ku lempar, dan tak terkecuali ndilati aspal.
Aku tak habis pikir, betapa besar ni’mat Allah berupa ayahku ini. Tanggungan sebagai kepala keluarga saja, jika dihitung-hitung tak kuat rasanya. Apalagi sebagai seorang lelaki. Tanggungjawab memimpin anggota keluarganya yang perempuan. Tidak hanya satu dua pula. 10 perempuan ada di pundaknya. Belum lagi ragam sifat yang musti ditelateni. Tiba-tiba saja, aku menangis... tak tega
Aku menyadari betapa aku mencintainya dengan segala keegoisan, dan entahlah dengan keikhlasan. Aku merutuki diriku, benar-benar memalukan. Beberapa waktu lalu, sebelum agenda safar ke Lamongan, aku sampaikan pada ayah bahwa aku sangat membutuhkan pendamping safar. Satu persatu ayah menanyakan saudara lakiku. Ku jawab apa adanya, kendala kesibukan dan agenda masing-masing. Aku bermaksud mungkin ayah akan memberikan solusi dengan menunjuk kakakku yang lain.
“Ya, bagaimana lagi ya,” kata ayah memecah keheningan diantara kami. ujarnya lirih tanpa solusi harapan.
Aku sendiri tak mau pula memaksa mereka menyanggupi, tapi aku hanya mengupayakan saja. Toh usaha itu tetap tidak akan sia-sia. Jadi ku komunikasikan saja apa adanya pada ayah.
“Hm, ya nanti kalau memang ada laki-laki shalih yang meminangmu...mehehe,” tukas ayah terkekeh. Tentu arah pembicaraannya ke arah pernikahan. Ada selip rindu sekaligus perih. Sejujurnya memang aku masih menikmati kesendirian, meski tak memungkiri pula adanya sisi kenormalan. Aku mau saja menikah, tentu tanpa menambah beban bagi suami. Akan tetapi, satu sisi aku takut kehilangan kasih sayang ayahku. Aku terlalu mencintainya. Dilema ku di persimpangan. Aku takut kehilangan cinta kasih tulus ini. Ayahku orang yang paling bisa menerimaku, apapun itu. Aku takut pengganti itu terlalu banyak berharap padaku, sementara aku terbatas. Tapi juga aku harus berbagi untuk saudaraku. Istilahnya aku harus gantian. Gantian dalam menerima kasih sayang ayah.
“Ya Allah, ini syari’at, aku tahu. Ini ibadah, aku juga tahu... tapi ini juga terkait pada hati dan perasaan. Aku juga tak tahu... halaaah, embuhlah!”
Lalu apa salah jika aku bersikap “sak dermo nglakoni”? jika ada biarlah berjalan apa adanya. Jika tiada ya sudahlah tak perlu dipaksa. Mungkinkah itu pola pikir yang salah? Apalagi posisiku sebagai perempuan. Perempuan lebih pas menduduki pos penantian. Nyatanya, memang tidak ada yang berani melewati proses itu (eh, ada ding! Tapi...). ketika tiba giliran menghadap ayahku, mereka mundur teratur. Seolah ayahku adalah momok dan monster terjahat di dunia. Padahal, betapa penyayangnya ayahku, andai mereka mau mengenal lebih dalam. Andai mereka para pemberani...
Meski begitu, aku tidak berminat terlalu payah dalam menggapainya. Setiap kondisi memiliki sisi positif dan negatif. Terbukti, dalam kesendirianku ini, masih banyak yang bisa ku lakukan sekehendakku. Kesempatan berkarya tidak terbebani tanggungan lain. Tapi... lagi lagi aku teringat beban tanggungan ayah. Terbayang sosok ayah yang semakin senja. Rasanya ingin ku bertanya suara hatinya tentangku. Aku yakin, ayah tak akan malu memiliki anak sepertiku, tapi aku penasaran seberapa berat ayah menanggungku?

Hanya tuhan yang tahu...???


&&&&&&&&&&&&&&&&&&&


Ditulis untuk Lomba Suara Perempuan  2013
Continue Reading...
 

Sabaqaka Ukasyah Copyright © 2009 Girlymagz is Designed by Bie Girl Vector by Ipietoon

Modified by Abu Hamzah for Ukasyah Habiby