AL QUR’AN
Al Qur’an disebut pula Al Kitab (6:91). Al Qur’an itu cahaya dan petunjuk (6:91). Dikatakan sebagai cahaya, sifat cahaya itu menerangi dan menyibakkan kegelapan. Ibaratnya seseorang yang berjalan di kegelapan, dia mengalami kebingungan dan kegelisahan. Ketika kegelapan itu sirna karena cahaya, maka orang yang berjalan itu akan merasakan kenyamanan dalam perjalanannya sehingga selamat sampai tujuan. Oleh karena itu, cahaya digandengkan dengan kata-kata HUDA = petunjuk. Jalan yang terang dan petunjuk ke arah tujuan, karena cahaya itu bersifat terang dan menunjuki. (14:1).
Al Qur’an merupakan kitab yang tidak ada keraguan padanya. Sesuatu yang menunjuki haruslah info akurat. Orang yang menerima petunjuk berarti orang-orang yang benar. Mereka adalah orang-orang pilihan. Mereka disebut orang-orang bertakwa, beruntung, beriman, dll. Keberadaan Al Qur’an bukanlah suatu bebanan (20:2) melainkan sebuah peringatan agar tidak terjerumus ke neraka (20:3) (74: 54-56), bahkan keistimewaan Al Qur’an itu mampu menjadi warning berharga bagi sekelompok jin, yang mana jin dikenal sebagai makhluk Allah penuh tipu muslihat. Makhluk Allah yang menduduki garda terdepan untuk membangkang titah Allah Ta’ala. (46:29-31), meskipun pada dasarnya Al Qur’an ditujukan pada manusia dan jin.
Al Qur’an bersifat multifungsi, sebagai warning sekaligus kabar gembira. Jika dikatakan warning maka itu berlaku bagi orang-orang yang mengabaikan hukum-hukum yang ada padanya, maka Al Qur’an juga menjadi penyejuk/kabar gembira bagi orang-orang yang beriman padanya (18: 1-3) (19:97).
Al Qur’an diturunkan tepat di momen special, yaitu bulan ramadhan. Bulan suci dan penuh berkah. Bulan yang istimewa (2: 185) (44:3). Kalamullah yang suci hadir di bulan suci, lailatul qodar (98:1). Lailatul qodar adalah suatu malam dimana open house ilahiyah digelar. Para malaikat turun ke dunia demi menyambut detik-detik istimewa dan menebar salam serta kedamaian bagi hamba yang mengagungkannya. Hal itu menunjukkan betapa Al Qur’an itu istimewa lahir batin.
Al Qur’an mutlak sebagai kebenaran. Kebenaran adalah hukum mutlak lahirnya keadilan, kedamaian dan kesejahteraan (3:3). Al Qur’an sebagai penjelas antara yang benar dan batil, tanpa mengenal istilah abu-abu, kata lain dari makna hokum ambiguitas (3:4).
Pengalaman adalah guru terbaik. Banyak orang mengagungkan ungkapan tersebut. Al Qur’an pun jauh lebih dulu menandaskan demikian (24:34). Singkat dari beberapa ulasan sederhana itu mewakili penjabaran hujjah bahwa Al Qur’an layak sebagai landasan utamadalam menentukan hukum-hukum dan dasar-dasar tindakan umat manusia dalam berbagai segmen kehidupan, antara lain dunia pendidikan (16:64) (6:114)
AS SUNNAH
(33:21)
Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjadi teladan bagi umat beliau. Akhlaknya adalah Al Qur’an, demikian Aisyah r.a membahasakan budi pekerti beliau (Al Qolam:6?), maka selayaknya jika segala tindak tanduk beliau menjadi bagian parameter dasar baik buruk suatu amalan.
Keteladanan rasulullah disebut pula sunnah. Sunnah adalah segala hal yang diperintahkan maupun yang dilarang oleh rasulullah saw, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan.[1] Jika Al Qur’an adalah landasan utama dalam berhukum, sedang rasulullah berakhlak sesuai kandungan Al Qur’an, maka tak lain sunnah beliau itu landasan kedua setelah Al Qur’an.
Sebagaimana rasulullah bersabda: “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara (pusaka) dimana kalian berpegang teguh pada keduanya tak akan tersesat selama-lamanya, kitabullah dan sunnah rasulullah.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Al Qur’an dan Sunnah merupakan dua perkara serupa yang tak sama, tak bisa dipisahkan. Keseimbangan untuk menerima keduanya adalah tuntutan mutlak dan kemutlakan ini mengakibatkan kebahagiaan atau kesengsaraan abadi. Jika salah satu ditolak bahkan sebagian saja, maka label kekufuran wajib disematkan padanya. Label kekufuran inilah tiket menuju kesengsaraan abadi tersebut.
Oleh karena itu, keseragaman dan keseluruhan dalam menerima Al Qur’an dan sunnah tidak bisa ditawar maupun diganggu gugat. Dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya pendidikan, sudah seharusnya berlaku kewajiban ini. Kewajiban dasar pendidikan yang diserap dari Al Qur’an dan Sunnah, dengan sebutan lain Aqidah Islamiyah.
IJTIHAD
Dunia Islam mulai menyebar dan berkembang hingga luar Makkah dan Madinah (Hijaz). Perkembangan itu meluas hingga ke Afrika Utara bahkan Spanyol. Dunia pendidikan turut pula berkembang. Kota-kota besar yang terkenal perkembangan dunia pendidikannya, antara lain:
1. Makkah dan Madinah (Hijaz)
2. Bashrah dan Kufah (Iraq)
3. Damsyik dan Palestina
4. Fustat (Mesir)
Islam berhasil menaklukkan berbagai daerah jajahan, sehingga dunia pendidikan Islam pun menyebar dan menanamkan pandangan baru. Otomatis dunia Islam bersinggungan dengan budaya-budaya baru di daerah yang telah ditaklukkan. Budaya-budaya tersebut jauh berbeda dengan budaya Arab, daerah awal bangkitnya Islam. Dari sini, mulai diperlukan cara berpikir baru yang menjembatani kesepahaman antara Aqidah Islamiyah dengan budaya masing-masing daerah taklukan. Pemikiran itu disebut “Ijtihad”.
Al Qur’an dan sunnah (hadits) masih terbilang umum makna dan kandungannya, sehingga untuk memahami makna dan kandungan keduanya memerlukan cara-cara khusus. Sebab perbedaan budaya sangat berpengaruh dalam menyikapi Al Qur’an dan sunnah sesuai keteladanan rasulullah. Sementara rasulullah sendiri memiliki masa terbatas untuk selalu bisa menyertai umat beliau.
Ijtihad secara terminology ialah jalan yang dilalui dengan cara memberikan semua daya dan kesungguhan yang diwujudkan oleh akal melalui ijma’ atau qiyas untuk mengambil istinbath hukum dari dalil-dalil AlQur’an dan As Sunnah untuk menentukan batas yang dikehendaki.[2]
Ijma’ adalah cara berpikir yang dihasilkan dari kesepakatan para fuqaha mujtahid dari kalangan umat Muhammad saw dalam suatu perkara dari berbagai perkara syari’at usai sepeninggal beliau, baik itu berupa ucapan maupun perbuatan dari masa ke masa.[3]
Qiyas adalah cara berpikir dengan usaha untuk menghubungkan antara perkara pokok dengan perkara cabang melalui persamaan Illat (cacat) hukumnya.[4]
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Seorang mujtahid seharusnya orang yang faqih. Faqih ialah orang yang berilmu, memahami dan dapat mengamalkan ilmunya. Ketentuan seorang mujtahid itu antara lain sebagai berikut:
1. Orang yang alim/ menguasai ilmu Al Qur’an, baik dari kosa kata, susunan kata dan segala bentuk rangkaian kalimatnya (nahwu dan sharaf), pelafalan sekaligus makna atau keterangannya melalui belajar.[5]
2. Orang yang alim/menguasai As Sunnah, baik dari segi matan, sanad dan rawi-rawinya.[6]
3. Orang yang alim/menguasai ushul fiqh (penggunaan istilah ‘Aam/ khas, Mutlaq/Muqayyad, Mujmal/Mubayyin, Nasikh/ Mansukh, metode ijma’, dls.).[7]
Ijtihad dalam penggunaannya dapat meliputi seluruh aspek kehidupan, sebagaimana dunia pendidikan. Tingkat kepreluannya hanya sekedar tambahan melainkan keperluan utama setelah Al Qur’an, As Sunnah dan keteladanan sahabat. Dengan demikian, ijtihad tidak bisa dipandang sebagai segmen terpisah dari dua pokok dasar pemikiran. Ijtihad ini dapat diterima sejauh penerapannya tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Wallahu a’lam.